22

8 1 0
                                    

Ada hati yang termanis penuh cinta. Untuk melepas keresahan. Namun kenapa di sia-siakan ketika hati belum merindu?

×××

Aku menatap hujan deras di bangku koridor gedung hijau bersama dengan Tatya yang tengah sibuk mengubrek-ubrek remahan roti yang tinggal sedikit. Menghiraukan kebisingan di sepanjang lorong siang ini. Semua mahasiswa keluar dari kelas, bukan tanpa alasan. Karena jadwal sudah masuk ke dalam kategori ISOMA alias istirahat, shalat, dan makan.

Namun semua itu di kacaukan oleh hujan yang tiba-tiba turun deras beberapa menit lalu. Membuat kami semua terkurung di gedung yang sialnya seketika terasa pengap bagiku. Bagaimana tidak, beberapa meter di ujung lorong aku melihat Suga yang telah bersama Ghinta dengan tangan gadis itu merangkul lengan Suga yang sama sekali tidak pernah ku sentuh.

Sialan!

Kenapa Suga bisa ada di gedung ini? Seharunya dia ada di gedung sebelah. Mengingat gedung fakultasnya ada di sana, bukan di tempat ini. Kenapa juga aku harus satu jurusan dan sefakultas dengan Ghinta?

Ah, menyebalkan. Kenapa jealous rasanya begini? Siapa yang menobatkan rasa cemburu seperti ini? Harusnya aku kutuk orang yang mengklaim perasaan cemburu seperti ini!

Aku menghela napas dengan kesal meraih asal botol minuman yang dipegang Tatya sehingga membuatnya gagal untuk meminumnya.

Tanpa mendengarkan perkataan Tatya, aku meneguknya berulang kali. Menyebalkan. Sangat menyebalkan ketika Suga dengan entengnya melewatiku dan sekarang berdiri dua langkah di depan kami. Aku menatap kesal pungung kedua sijoli yang...

Ghinta kenapa nempel-nempel kayak ulat gitu?

Whoah! Rasa penyesalan, rasa rindu, dicampur cemburu begini benar-benar membuatku kesal.

"Itu susu loh, Di." untuk kali pertamanya aku kembali menangkap suara Tatya yang tengah menatapku pasrah.

Aku menoleh, menatapnya bingung. "Lo alergi susu kenapa di minum sih!?" seru Tatya. Membuatku melongok ke botol yang ada di tanganku. Aku tersedak dan Tatya mengambil alih benda itu cepat.

"Gila, tinggal seperempat. Lo doyan apa doyan?" tanya Tatya keheranan.

Sementara aku terdiam. Mencoba merasakan efek susu itu di dalam tubuh. Apakah sudah bereaksi atau belum dan sialnya...

Aku menggaruk leher yang tiba-tiba gatal seiring Suga menyentak tangan Ghinta di lengannya.

"Lo gak apa-apa?" Tatya bersuara.

"Gatal." jawabku seraya menggaruk pungung, leher, dan apa saja yang terasa gatal.

"Suga!"

"Kita kerumah sakit!"

Suara itu membuat mataku membola di sela-sela tanganku sibuk menggaruk-garuk leher dan tangan sesekali wajah. Seperti biasa, alergi itu terlalu cepat bereaksi di tubuhku dan meninggalkan bintik-bintik merah.

×××

Suga yang berdiri di sudut brankar menatapku tajam. Aku hanya menunduk sembunyi di balik pungung dokter yang tengah berbicara dengannya.

Aku bukannya merasa senang bisa berdua dengan pemuda itu lagi malah takut melihat ekspresi Suga kali ini. Akibat kecerobohan yang ku buat.

Aku terbelalak saat dokter pergi dan menunduk mencoba mengatur detak jantung yang sejak tadi tidak karuan berlarian. Suga menghampiriku.

"Saya akan hubungi Rendi, kamu bisa pulang dengannya."

Seriuskah?

"Jangan..." cicitku spontan memegang tangan Suga yang hendak menghubungi orang yang dimaksudnya.

Tidak. Jangan.

Bukan karena tidak ingin merepotkan atau membuat Rendi khawatir, tapi aku kali ini ingin Suga. Bukan sahabatnya itu.

Alisnya terangkat menatapku. Aku meringis bingung harus berkata apa. Ketidak inginan berpisah dengannya membuat spontanitas ku bergerak melejit.

Aku menunduk membasahi bibirku. Obat alergi yang di oleskan tadi mulai bekerja. Aku memainkan jari-jariku di pangkuan tanpa aku sadari Suga menghela napas.

"Ya, sudah. Saya antar kamu pulang."

Dan sialnya, aku kembali merespon cepat dengan mendongak dilengkapi senyum lebar yang entah mulai kapan bertengger di sana.

Bodoh.

Satu kata untuk diriku saat ini.

Aku mengikuti langkah Suga yang membawaku keluar dari rumah sakit setelah ia mengurus tetek bengek lainnya.

Saat aku ingin membuka pintu penumpang depan, Suga menahannya membuatku menoleh padanya.

"Duduk di belakang," ujarnya membuka pintu penumpang.

Aku mengerut kening. Dua bulan tidak berkomunikasi ternyata perubahan Suga sangat kontras sekali. Dingin dan...

"Kamu tidak cocok di depan." lanjutnya membuatku terkejut.

Aku terdiam. Kecewa mendengar ucapan Suga yang entah kenapa membuat hatiku menangis.

Ya, memang. Aku telah menolaknya dan ternyata efeknya posisiku pun berpindah. Aku mengangguk. Seharusnya dari awal aku sadar diri.

Aku tersenyum paksa dengan mata yang memanas. "Ah, benar. Bukan tempatku lagi," ujarku pelan menuruti kemauan Suga dan duduk di kursi belakang.

Aku terdiam di kursi belakang. Membiarkan Suga sibuk menyetir dalam diam. Aku membuang pandang keluar jendela.

Ada hati yang termanis penuh cinta. Untuk melepas keresahan. Namun kenapa di sia-siakan ketika hati belum merindu?

Aku tersenyum kecut di sela-sela menahan tangis yang hendak keluar.

Ya, kenapa di sia-siakan lalu menangis menyesal saat hati telah merangkul rindu?

Aku turun setelah mengucapkan terimakasih pada pemuda yang sama sekali tidak keluar dari mobil, tidak seperti biasanya. Dulu.

Saat aku hendak menutup pintu penumpang, dia bersuara untuk kali pertamanya selama perjalanan menuju kosanku.

"Tempatmu bukan tempat yang pernah di duduki wanita lain."

Aku menoleh dan menatap Suga yang masih saja tidak melirikku. Aku hanya diam dan keluar dari mobil tersebut dengan kebingungan.

Entah kenapa, kali ini ucapan Suga tidak bisa tercerna di otakku dengan sempurna.

Tempatmu bukan tempat yang pernah di duduki wanita lain?

×××

Like and coment ya, guys. Love love love bertebaranan tuututuh. Wkwk.

2 Nov 19
#Lc

POTRETWhere stories live. Discover now