5 : Traktiran

3.7K 474 151
                                    

Suasana koridor-koridor kelas lengang. Hanya ada gema-gema suara anak-anak yang berasal dari dalam kelas. Angin berhembus malu-malu, sambil mengantarkan aroma makanan dari kantin yang sedang bersiap.

Matahari kian meninggi. Bendera merah putih berkibar menampakan ke gagahannya. Menelusuri tiang tinggi sampai ke bawah, dan kita bisa melihat tujuh anak sedang berbaris di sana. Kepala mendongak, dengan tangan di sekitar pelipis.

Benar saja, kepala sekolah habis-habisan mengomeli anak-anak yang kena hukuman di depan. Jonatan tidak bisa ngebayangin kalau saja tadi Anthony yang ketangkep si Juni.

"Perasaan lu bawa topi tadi Jo?" tanya Fachri sambil ngelirik ke arah Jonatan, tangannya sudah pegel banget hormat ke bendera merah putih.

Jonatan cuma cengengesan sambil nyeka keringet dia yang sudah ngucur dari pelipis sampai lehernya. Reza geleng-geleng ngeliat tingkah Jonatan yang benar-benar tidak bisa ditebak. Tadi Jonatan bikin keributan yang sukses buat geger pas lagi upacara, sekarang ini anak sudah bisa cengengesan lagi.

Jonatan tidak masalah harus dijemur sambil hormat ke bendera, atau lari keliling lapangan sepuluh kali dimana anak-anak lain cuman lima kali, atau.. ketinggalan pelajaran pertama.

Toh, dia masih bisa cekakak-cekikik sama teman tongkrongan lainnya yang kena hukum juga, kaya Reza sama Fachri ini contohnya.

Dia hanya tidak tahan jika melihat semua ini harus ditanggung Anthony. Ntah, Jonatan selalu suka melihat Anthony tersenyum, lebih-lebih lagi tertawa. Dia tidak suka melihat Anthony termenung diam, dengan tatapan menunduk, seperti saat dia melihat Anthony yang sedang menunggu Fajar dan Rian yang sedang solat asar sebelum mereka bisa pulang sekolah bersama.

Jonatan tidak menyadari, sejak kapan dia memiliki radar di mana keberadaan Anthony. Matanya akan selalu otomatis menelusuri tempat ketika ia melihat teman-temannya Anthony berada di sekitarnya. Setelah menemukan Anthony, dia baru bisa lega dan seterusnya akan mencuri-curi pandang ke pemuda manis itu.

Setelah masa hukuman selesai, Jonatan langsung ngeluyur masuk ke kelasnya, ngambil handuk kecil yang memang selalu dia bawa—bahkan sudah jadi ciri khas Jonatan.

Jonatan ngeringin rambutnya yang tadi dia sudah cuci terlebih dahulu di wastafel depan kelas. Seragamnya sudah dia buka karena lepek sama keringetnya, dia tinggal pakai kaos daleman warna hitam sekarang.

"Napa lu?" tanya Jonatan sambil ngeringin rambutnya, duduk di meja.

"Kok lu sampe segitunya sama Onik?" Tanya Fajar penuh selidik.

Jonatan tertawa remeh, "Dia bukan anak lu beneran." Ucapnya dengan maksud menyindir Fajar. Sudah capek, gerah, dendam dia sama Juni makin gede, sekarang Fajar ikut-ikutan.

"Gua tau lu Jo. Asal bosen lu tinggal. Gua gak mau ya Onik sampe baper sama lu." Ujar Fajar berusaha tenang.

"Gua cuman nolongin dia. Gak kaya lu pada yang cuman gede omongan doang." Balas Jonatan dengan suara yang meninggi.

Fajar menggebrak meja. Anak-anak kelasannya yang lagi pada di situ mulai ngeliatin mereka.

"Lu gak usah sok tau! Onik justru gak suka kalo ada orang yang ngorbanin dirinya sendiri buat dia." Fajar diri sambil nunjuk-nunjuk Jonatan yang menatapnya marah.

"Kalo gua bilang gua serius sama dia apa lu mau percaya hah? Bangsat!" Jonatan langsung turun dari meja, dia nabrakin bahunya ke bahu Fajar dengan kasar sambil jalan keluar kelas.

Mereka lagi sama-sama panas. Dari pada berantem beneran, lebih baik dia ngademin diri sendiri. Pas di depan pintu kelas langkahnya berhenti. Sudah ada Rian, Kevin sama si biang masalah—Anthony.

[TAMAT] Masih SMA! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang