19. Decision

1.3K 311 138
                                    

Seoul

Jihoon tengah bersiap-siap berangkat ke kampus ketika handphonenya berbunyi. Dia sudah secara otomatis hendak mengangkatnya, ketika dilihatnya nama siapa yang muncul di layar.









Guanlin?

Kenapa Guanlin menghubunginya?

Sejak peristiwa instagram yang lalu itu mereka masih tak saling bicara. Tapi teman-teman mereka yang lain memberitahunya apa yang terjadi. Lagipula bukankah Guanlin sedang berada di New York karena ada kerabatnya yang menikah?

Jihoon melirik jam tangannya. Masih jam tujuh lewat. Jam berapakah di New York sekarang? Berapa jam perbedaan waktu antara Seoul dan New York? Dua belas, bukan ... empat belas jam?

Rasa penasaran Jihoon lebih besar dari rasa jengkel yang masih menghinggapi hatinya. Di detik-detik terakhir digesernya tombol hijau di layar.

"Ya?" Tanyanya, mencoba menjaga nada suara sedingin mungkin. Dia masih menyimpan gengsi.

Tunggu. Apa telinganya tidak salah? Apa dia mendengar suara isakan? Guanlin menangis?

"Guanlin? Kenapa? Ada apa?"

Tidak ada jawaban, bahkan suara isakan itu makin keras. Jihoon tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya diam mendengarkan lawan bicaranya siap bercerita, sambil sekali-kali bergumam berusaha menenangkan.

"It's okay. Berceritalah kalau sudah siap."

Beberapa menit berlalu ketika akhirnya suara isakan dari seberang samudra itu mereda.

"Hyung."

Suara itu terdengar begitu tidak yakin di telinga Jihoon. Tidak seperti Guanlin yang biasanya sangat percaya diri. Ada masalah yang membebani hatinya.


"Aku bingung. Aku tidak tahu harus berbuat apa."

Jihoon mendesah. Sekali lagi dia mengangkat lengan supaya matanya bisa melihat letak jarum di jam tangannya. Ini tidak akan selesai dengan cepat. Kelihatannya dia harus merelakan kelas paginya. Jihoon melepas jaket yang sudah dikenakannya sambil berjalan kembali ke dalam kamar dan menghenyakkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Ceritakan padaku, ada masalah apa?"



...


Butuh waktu tiga puluh menit untuk Jihoon memahami duduk permasalahannya. Penjelasan Guanlin yang tidak jelas dan tumpang tindih, bercampur fakta yang terlalu aneh untuk diterima oleh otak Jihoon sehingga berkali-kali dia harus menyela untuk mengkonfirmasikan apa yang didengarnya.

Jihoon masih sulit mempercayai cerita yang didengarnya. Cerita yang sangat rumit, lebih rumit dari Teori Ekonomi yang diajarkan Dosennya di Kampus, bahkan lebih menakjubkan dari webdrama yang kadang-kadang dilihatnya. Guanlin tidak sedang mencoba membohonginya kan? Mempermainkannya? Tidak. Tangisan itu asli. Kebingungan yang didengarnya juga asli. Guanlin benar-benar terbenam ke dalam sebuah drama yang dimulai sebelum dia lahir.

Jihoon menyandarkan badannya di kepala tempat tidur, mengalasi punggungnya dengan dua buah bantal. Duduk tegak membuat kepalanya pusing.

"Apa yang harus aku lakukan, Hyung?"

Yang ditanya hanya bisa menghembuskan nafas. Dia pun bingung. Apa yang harus dilakukan jika dia berada di dalam situasi seperti itu?

Jihoon hanya mengungkapkan apa yang dirasakannya.










"Aku merasa kasihan kepada pamanmu."

"Kasihan?" Suara Guanlin terdengar tidak terima dan marah. "Apa yang perlu dikasihani dari dirinya. Setelah apa yang diperbuatnya padaku? Bagaimana mungkin kamu merasa kasihan kepadanya?"

HOURGLASS [END] | OngNielWhere stories live. Discover now