2. Sebuah Telpon

46.8K 6.1K 1.3K
                                    

Note: Cerita ini tanpa sensor. Setiap nama, karakter dan sosial media yang ada di cerita ini adalah asli, tanpa mengharumkan nama baik dan tanpa batasan untuk menghancurkan nama baik, semuanya nyungsep di cerita ini.

Baca ulang buat yang udah lupa, lebih bagus baca dari epilog soalnya mulai sekarang bakal update terus👌

***

Tarik napas dalam-dalam, lalu embuskan. Trik itu gue lakuin buat nenangin diri. Jaket jeans biru, yeah. Kali ini harus berhasil.

Terus terang, gue ngelakuin semua ini karena penasaran, bukan karena gue suka sama dia. Isi chat nggak begitu penting, tapi apa yang terjadi dan gue ketahui setelah dia chat seperti itu membuat gue semakin penasaran.

Ya, cowok pendiam, nggak pernah ngomong, nggak punya temen, dan intinya dia cowok yang menyedihkan diantara cowok-cowok yang lain.

Dia...ngingetin gue sama gue yang dulu, di mana selalu menjadi korban bullying dan diem seribu bahasa, menjauh dari dunia luar dan kesepian itu udah biasa gue hadapin.

Tapi... dia? Renaldy? Apa dia korban bullying juga sampe nggak berani ngomong? Atau mungkin emang bawaan dari lahir. Entahlah, dan gue penasaran setengah mati sama cowok yang mirip dengan gue dulu.

Dan di sinilah gue berada, di atas tangga berwarna putih dengan deretan orang-orang setres. Detik demi detik, menit demi menit terus menunggu kehadirannya.

Gue nggak suka sama dia! Gue cuma mikirin baju apa yang dia pakai sekarang, karena sepengetahuan gue setiap hari Selasa dia pakai jaket jeans berwarna biru.

"Kep, diem aja," ucap Desi sambil mengepak bahu, dia tersenyum seperti biasa.

Ya, dulu sekali saat pertama masuk kuliah, gue sama kayak dia, nggak pernah ngomong, menghindar dari dunia luar, dan gue jarang banget ketawa-ketawa kayak sekarang.

Merekalah yang perlahan buat gue berubah, semenit gue diem, pasti salah satu dari mereka bertanya. 'Kep, kok diem aja?' Atau 'Kep, ngomong dong!' Dan perkataan mereka semua selalu membekas sampai sekarang.

Mereka adalah, Astri, Desi, Rifa dan Riyanti. Mereka cewek-cewek paling nggak mau diem, nyebelin, stres, tapi perhatian.

Kalau orang lain bilang masa paling indah adalah masa SMA, gue beda lagi. Masa paling indah adalah masa kuliah, karena gue bisa bertemu dengan mereka.

"EKEP IH JAWAB!" ucap Desi lagi dengan nada kesal.

"Nggak papa, ya ampun."

"Mikirin apa?"

"Nggak mikirin apa-apa."

"Mules?"

"Nggak."

"Lapar kayaknya si Ekep nih," balas Riyanti.

"Nggak! Si Ekep kalo lapar galak, nggak bakal bisa diem." Ndut mulai membuka pembicaraan, kamipun larut dalam perbincangan.

Tapi tiba-tiba mata gue melotot ke arah cowok yang baru datang dengan baju tebal panjang berwarna maroon. Ya, di sana Renaldy memakai baju berwarna maroon, bukan jaket jeans biru. Sial!

Ku ingin marah, melampiaskan, tapi ku hanyalah sendiri di sini. Ingin ku tunjukkan pada siapa saja yang ada, bahwa hatiku...kecewa.

Entah kenapa gue sedikit kesel lihat perkiraan gue melenceng, sabar, sabar, sabar. Cuma itu yang bisa gue lakuin sambil ngelus dada.

Hari ke Selasa, misi balas dendam resmi gagal.

***

DANDELIONWhere stories live. Discover now