57

273K 15.6K 828
                                    

Author POV

"Nih!" Seru Lisa dengan ekspresi tidak ramahnya, membanting piring berisi nasi goreng di hadapan Nares. Dia tidak peduli, meski piring kaca itu akan retak bahkan pecah. Yang Lisa inginkan, Nares tahu jika dia benar-benar marah. Hampir saja di melewati fase terpenting dalam melanjutkan garis keturunannya, sampai Nares datang dan mengacaukan segalanya.

"Biasa aja dong, nggak usah nge-gas," goda Nares dan melahap nasi goreng tanpa permisi. Setelah menyela kegiatan senang-senang kakak dan abangnya, Nares merengek minta dibuatkan makanan.

"Lagian, ya, Lo nggak bisa apa, ketuk pintu?" Ketus Lisa dan menuding ke wajah adiknya yang merasa tak bersalah sedikit pun.

"Lah? Mana gue tahu Lo ada di sini? Yang gue tahu apartemen ini kosong dan Lo ada di rumah sama Bang Saga. Kalau gue buka kamar tanpa ketuk pintu dan ngeliat adegan dewasa Lo pada, bukan salah gue, lah!" Nares masih membela dirinya. Intinya, bukan dia yang berada di waktu dan tempat yang salah. Itu murni kesalahan Lisa dan Saga pikir Nares.

"Lo-" Lisa menghela napas lelah dan memilih mengakhiri perdebatan yang tidak akan berujung. Bedebat dengan Nares bisa mengalahkan perdebatan antar capres. "Ngapain ke sini malam-malam? Papa dan Mama nggak nyariin apa?" Tanya Lisa dengan nada lembut akhirnya.

"Gue kabur dari rumah. Tengkar sama mereka berdua," jawabnya santai lalu meneguk air es hingga bersisa setengah gelas.

"Kenapa lagi?" Jika Nares sampai pergi dari rumah, biasanya pertengkaran ini tidak jauh-jauh dari hobi Nares.

"Mereka mau gue serius kuliah dan berhenti naik gunung," Nares tertunduk dan berhenti bercerita. Tepat seperti dugaan Lisa.

"Terus?"

"Gue marah, dan kabur," kilatan emosi masih terlihat membara di mata Nares, meski kejadiannya sudah hampir sejam yang lalu. Dia terlalu sensitif, jika dilarang melakukan hobi yang sudah mendarah daging.

Lisa mengelus pelan rambut adiknya "Papa dan Mama cuma mau yang terbaik buat Lo, ngerti kan?"

"Gue pasti selesai kuliah, kak. Tapi nggak larang gue naik gunung juga. Gunung udah jadi napas gue. Lebih baik Papa dan Mama ngelarang gue kuliah dari pada nggak boleh naik gunung," Nares mengangkat wajahnya dan berusaha membenarkan apa yang dia lakukan selama ini. Lisa mendelik marah saat mendengar kalimat Nares yang tidak masuk akal. Adiknya hanya bisa nyengir dan berkata bercanda tanpa suara.

"Lo sadar nggak, waktu Lo lebih banyak habis di gunung daripada menyelesaikan kuliah?"

Nares kembali terdiam. Memang benar, apa yang dikatakan kakaknya. Waktunya lebih banyak untuk kegiatan mapala, daripada menyelesaikan kuliahnya. Dia bisa bolos kuliah berminggu-minggu jika sedang bersama temannya naik gunung, yang mengakibatkan dirinya sudah tertahan dua semester.

"Lo udah besar, harusnya tahu mana yang jadi prioritas Lo saat ini. Nggak perlu juga, gue ceramahin panjang lebar tentang mana yang benar dan salah," ucap Lisa bijak. Dia tahu betul, adiknya adalah tipe yang akan semakin pembangkang, jika dikerasi

"Iya," jawab Nares singkat dan mulai merasa bersalah pada orang tuanya. Sepertinya dia harus berpikir ulang mengenai masa depannya. Bagaimana pun, dia akan butuh pekerjaan, di mana ijazah kuliahnya akan menjadi persyaratan utama. Lisa menguap kecil dan melirik jam telah menunjukkan dini hari.

"Udah, gue mau tidur. Langsung cuci piring, kalau nggak gue usir," Lisa bangkit dari duduknya diikuti Nares yang membuat mimik tidak suka pada kecerewetan kakaknya.

"Bilang ke Bang Saga, maaf udah ganggu jam tayangnya," seru Nares dan tertawa geli, dihadiahi tatapan tidak suka dari Lisa. Wanita itu kembali berbalik dan masuk ke kamar. Di sana Saga telah berbaring dengan napas teratur. Sepertinya dia sudah terlelap.

Are We Getting Married Yet?Where stories live. Discover now