Part 14 - Pamit

544 50 0
                                    

Sudah pukul 5 sore. Tiyas masih didalam kamar dan ia sudah tidak mendengar suara Wisnu di luar. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Perasaan bersalah dan rasa cemburu membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Ia tidak tahu bahwa rasanya bisa sakit seperti ini. Tapi kenapa ia cemburu? Apa ia cinta Wisnu? Melihat ada orang lain yang mengagumi pacarnya itu ia tidak rela. Wisnu yang sabar dan banyak diam. Wisnu memang selalu rendah hati, tidak pernah menganggap dirinya istimewa. Berbeda dengan Raka yang memang selalu menjadi sorotan dan punya banyak penggemar. Itu yang membuat Wisnu berbeda dan membuat Tiyas mulai merasa jatuh cinta. Walaupun Tiyas masih belum mau mengakuinya.

Ia mencoba mulai berpikir jernih. Perkataan Wisnu banyak benarnya, atau memang Wisnu benar. Hanya Tiyas yang terlalu keras kepala. Lalu ia mulai merasa sepi, ia menyesal membiarkan Wisnu pergi. Ini bukan sepenuhnya salah Wisnu. Karena lelah dengan semua pikirannya dan merasa harus mandi, Tiyas keluar dari kamarnya dan terkejut karena mendapati Wisnu masih duduk di sofa ruang baca favoritnya didepan kamar.

"Kamu masih disini? Dari tadi?"

"Iya."

Tiyas berbalik ingin masuk ke kamar lagi.

"Kamu bener-bener ga pingin aku disini Ti?" Wisnu beranjak dari duduknya. "Aku pamit dulu, tadi aku hanya ingin pastikan kamu keluar kamar dan makan."

Tiyas berbalik dan menahan lengan Wisnu. Mereka berdiri berhadapan. Mata Tiyas sembab dan wajahnya masih merah. Tetapi untuk Wisnu Tiyas masih kelihatan cantik. Sekalipun merasa sangat bersalah karena membuat Tiyas menangis, ada sedikit rasa bahagia. Tiyas menangis untuknya, pacarnya itu bahkan cemburu.

"Mandi dan makan ya. Besok pagi aku kesini lagi." Wisnu tersenyum. Ia ingin melepaskan genggaman tangan Tiyas di lengannya.

"Nu..."Tiyas memberi jeda. "Ada serangga di rambut aku." Mata Tiyas berkaca-kaca.

Wisnu tersenyum lebar dan menenggelamkan Tiyas dalam pelukannya. "Jangan nangis lagi, maafin aku ya."

Rasa bersalah kembali datang dan membuat Tiyas menangis lagi. Ia menangis sambil memeluk Wisnu erat. "Maafin aku ya Nu. Aku ga ada buat kamu."

"Aku maafin asal kamu mandi, makan dan istirahat."

"Iya, tapi kamu ga boleh kemana-mana ya?"

"Oh jadi aku boleh nemenin mandi nih?"

"Enak aja. Tunggu aku dibawah."

Malamnya mereka berada di sofa panjang ruang keluarga menonton TV. Tiyas berbaring miring di pangkuan Wisnu melihat ke arah TV.

"Aku belum boleh pulang nih? Udah malem biar kamu istirahat." Tangan wisnu memilin rambut Tiyas.

"Ga boleh, tungguin Ibu aku pulang dulu. Adek emang lagi ke Bandung liburan di tempat Om Surya. Aku ga mau dirumah sendirian."

"Nu, kamu kapan berangkat ke Bandung?  Berapa lama? "

"Satu mingguan lagi. Jumat depan. Latihan mulai hari Sabtu. Trainingnya kurang lebih satu bulan tapi 1 hari seminggu aku bisa pulang." 

"Berarti liburan ini aku sendirian." Mata Tiyas menerawang, membayangkan liburannya tanpa Wisnu membuat dadanya sedikit sesak. Ia beranjak dan duduk disebelah Wisnu sambil memeluk bantal sofa.

"Aku telpon kamu setiap malam, setiap minggu aku pulang aku langsung kesini. Gimana?"

Merengek adalah hal yang tidak pernah Tiyas lakukan. Jadi ia hanya mengangguk sekalipun wajahnya masih sedih. Wisnu bisa membaca raut wajah Tiyas.

"Ti, aku paham ini bukan sesuatu yang kamu suka. Tapi ini penting banget buat aku. Jadi tolong support aku ya."

Tiyas mengangguk mengerti. 

Just another High school Story [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora