Part 17 - Strategy

487 50 0
                                    

Suasana Vila Om Surya di Lembang Bandung begitu menenangkan. Vila mungil dua lantai itu letaknya hampir diatas bukit. Dari teras belakang Tiyas bisa melihat pepohonan dari bukit diseberangnya. Sementara dari teras kamarnya yang menghadap ke depan, ia bisa melihat lampu malam kota Bandung. Indah sekali.

Adiknya sudah lebih dulu disana, ia tidak heran kenapa adiknya Tari tidak mau pulang. Tempat ini seperti candu. Tidak cukup berapa waktu pun yang dihabiskan disini. Tiyas datang dengan penuh amarah, namun ini sudah hampir seminggu. Amarahnya sudah reda, tapi harga dirinya masih terluka. Ia banyak berfikir, bagaimana ia sudah banyak berubah. Dirinya yang keras dan mandiri berubah ketika ia jatuh cinta. Pada laki-laki yang sebelumnya ia tidak suka. Lalu ia mulai menggantungkan harapan pada laki-laki itu, berharap kisah cinta pertamanya di SMA akan indah dan lancar-lancar saja. Tapi hey, ini hidup. Bukan kisah yang dibuat-buat yang ada di televisi. Jadi Tiyas memutuskan untuk berdiri lagi, tidak akan menjadi cengeng dan meratapi keadaannya terlalu lama. Jika dulu ia tidak membutuhkan laki-laki, kenapa sekarang ia tidak bisa seperti itu lagi. Tiyas akan pulang, istirahat dua hari lagi dan akan siap menghadapi Wisnu, Raka atau siapapun itu.

Jumat sore di rumah Tiyas.

"Bu, besok temenin aku ke salon ya." Tiyas sedang bergelendot manja sore itu dengan Ibunya yang sedang membaca majalah.

"Eh, tumben banget kamu mau ke salon. Biasanya ga pernah mau ikut kalau ibu ajakin." Ibu menoleh dan menatap Tiyas heran.

"Kan sekarang udah kelas 3 SMA Bu, sebentar lagi kuliah. Tiyas bosen pingin perubahan suasana."

"Bosen sama yang mana? Sama Wisnu apa sama Raka?" Ibunya meledek Tiyas. Wajah Tiyas langsung masam.

"Waduuuh, baru diledek sedikit aja udah ngambek. Iya besok Ibu temenin, sekalian ke toko buku cari perlengkapan sekolah kamu. Itu ransel jelek kamu udah mesti diganti. Mau belanja baju juga boleh." Ibunya terkekeh. Ini kesempatan untuk mengganti barang-barang dan baju-baju lama anak pertamanya yang terkenal cuek dan tidak perduli. 

"Siap Bos." Tiyas tersenyum gembira.

***

Sudah hari Minggu, besok adalah hari pertama sekolah. Wisnu masih belum bisa bertemu Tiyas dan ia sudah setengah gila. Ponsel Tiyas masih tidak aktif, dan sepertinya Tiyas belum kembali dari Bandung. Apa besok Tiyas masuk? Itu pun Wisnu tidak tahu. Awalnya Wisnu hanya bisa mengutuki dirinya, menyesal dengan semua yang ia telah lakukan. Bahkan mempertanyakan apakah dirinya pantas untuk gadisnya itu. Kata-kata Raka juga terus berputar di kepalanya. Dia dan sobatnya sudah menyatakan perang terbuka. Andai saja ia sedikit lebih peka dan tidak membiarkan Tiyas sendiri atau terluka, maka segalanya akan jauh lebih mudah. Hanya andai saja.

Pelatihan keras dan disiplin yang ia dapatkan di Bandung sedikit banyak sudah merubah Wisnu. Saingannya kala itu bukan remaja-remaja yang asal-asalan. Bahkan diantara mereka banyak yang datang dari keluarga yang kurang beruntung dan menjadikan mereka lebih terpacu bahkan mungkin lebih dari Wisnu. Tapi ia berhasil bangkit disana. Ia berhasil menjadi si tiga besar dalam papan skor dari pelatihnya. Memang bukan yang pertama, tapi mengingat saat test terakhir ada banyak Tiyas dikepalanya, untuk Wisnu masuk sebagai tiga besar lumayan juga.

Wisnu sudah memutuskan bahwa saat ini dia bukanlah orang yang sama. Kali ini dia akan berjuang untuk sesuatu yang dia tahu dia pantas mendapatkannya. Basket dan beasiswa, juga Tiyas gadisnya. Tapi Tiyas bukan sembarang perempuan. Tiyas berbeda. Wisnu berfikir kali ini masalahnya lebih berat, karena Tiyas pergi. Tiyas juga bukan perempuan manja yang akan senang dipuja-puja.  Jadi Wisnu harus memikirkan strateginya baik-baik, sebelum ia berbicara pada Tiyas besok. Ia menatap foto disebelah mejanya. Foto Wisnu, Tiyas, teman-teman OSIS dan klub basketnya saat pelantikan kelas satu. Betapa ia merindukan Tiyas, ia sangat merindukan gadisnya.

"Nuu...makan malam dulu yuk" Mamanya mengetuk kamar Wisnu. "Mama paham kamu lagi sedih, tapi makan dulu. Masalah apapun akan susah ketemu solusinya kalau perutmu lapar."

"Iya, sebentar Wisnu keluar."

***

Raka berputar di kamarnya malam itu. Sudah beberapa hari hatinya tidak tenang. 'Dimana kamu Tiyas?' Sudah satu minggu ia berusaha mencarai Tiyas. Tiga hari pertama ia habiskan di Bandung mencari Tiyas disekitar Lembang. Ia datangi semua tempat-tempat tongkrongan populer disana. Ia bahkan pergi ke toko-toko buku, berharap secara tidak sengaja ia bertemu Tiyas. Namun usahanya sia-sia.

Lalu sekembalinya ia dari Bandung, Raka menunggu di rumah Tiyas. Tapi Tiyas tidak juga kembali. Kenapa seolah Tiyas hilang ditelan bumi. Raka juga mulai bertanya-tanya. Apa ini jatuh cinta? Kenapa begitu merepotkan? Kenapa ia tidak bisa tidur dengan tenang? Kenapa perempuan ini begitu keras kepala, tidak mau keluar dari pikirannya? Awalnya Raka memang hanya main-main. Ia hanya ingin tahu seperti apa perempuan yang sudah membuat sobatnya Wisnu tergila-gila. Tapi jalan pikiran dan tindakan Tiyas yang sangat acak mampu membuat Raka selalu penasaran. Lalu Raka mulai memikirkan senyumnya, atau kata-katanya yang begitu lugas dan tanpa basa basi. Lalu melihat sisi demi sisi kepribadian Tiyas yang lain. Kuat namun juga rapuh, ceria tapi Tiyas sanggup sangat berduka seperti saat ini. Jadi kali ini ia harus setuju dengan Wisnu. Tiyas memang istimewa.

Sialnya itu tidak merubah apapun. Wisnu menang lebih dulu. Saat ini Tiyas adalah pacar sahabatnya. Sesungguhnya Raka bisa saja pergi dan mencari cewek lain yang lebih sempurna. Tapi ia tidak bisa. Keinginannya untuk memiliki Tiyas hanya untuk dirinya saja begitu kuat. Jika ia adalah Wisnu, dengan senang hati ia meninggalkan Nusantara Satu untuk Tiyas. Tidak akan ia biarkan Tiyas sendiri atau membuat Tiyas menangis seperti itu. 'Brengsek!' Raka mengumpat dalam hati. Matanya tetap nyalang hingga pukul dua pagi.



Just another High school Story [Completed]Where stories live. Discover now