01. KARMA

868 29 27
                                    

Tidak di angkasa, di tengah lautan atau pun di dalam gua - gua gunung, tidak dimanapun seseorang dapat menyembunyikan dirinya dari akibat perbuatan- perbuatan jahatnya.
(Dhammapada : 127)

*****

Wanita itu terlihat keluar dari sebuah pintu apartment di lantai 15 dengan mengendap-endap kemudian ia membuka perlahan pintu darurat dan menghilang. Nafasnya yang memburu menggema di dinding-dinding tangga darurat. Menengadah keatas, limabelas lantai lagi, batinnya.

Kaki yang lemah dan gemetar, menuntunnya naik satu persatu anak tangga tanpa dirasa. Pada pegangan tangga yang ditinggalkan terdapat jejak darah. Pikirannya sibuk dan kacau.

Oh, apa yang telah kuperbuat? Ini adalah kesalahan lelaki itu, mengapa aku harus bertindak sekejam itu pada pelacur murahan di lantai 15. Mengapa tidak kulampiaskan saja kemarahan ini pada suamiku?

*****

"Hai, Beb ... ada sarapan di meja, makanlah," sapa Lelaki setengah telanjang yang sedang berdiri di dapurnya sambil memanggang omelet, Tony memang seksi. Mereka sudah menikah tiga tahun, namun di matanya, keseksian lelaki itu tidak berkurang sama sekali.

"Hmm ... harum sekali, Hon!" Windy berseru tertahan ketika wangi telur panggang melewati indra penciumannya. Ia segera mengikuti jejak harum itu ke arah Tony dan berbisik, "Kamu juga harum."

Lengan Windy memeluk pinggang telanjang Tony dari belakang dan menyandarkan kepala di punggungnya. Gerakan itu mengundang tawa Tony, "Kangen sama aku?"

"Ya iya lah, sudah berapa lama kamu tidak pulang dan tidur di sini. Rapat ... lembur ... dinas... aku benci pada atasanmu."

Tony tidak menjawab, ia melempar omelet itu di udara dan menangkapnya dengan cekatan kembali ke panggangan. Sebentar kemudian, omelet itu dipindahkan ke atas piring.

"Maaf ya membuatmu menunggu terus," bisiknya di telinga Windy sambil menggandeng wanita itu, menuntunnya ke meja makan.

"Tidak masalah, aku terbiasa. Aku hanya takut kau mencari wanita lain, seseorang yang bisa memberimu anak," jawab Windy lirih, mengingat lagi hasil laboratorium dan vonis dokter bahwa rahimnya tidak bisa dibuahi karena satu dan lain alasan.

Ia langsung meminta cerai dari Tony ketika dilihatnya betapa terpukul lelaki itu. Pikiran yang kalut membuatnya melakukan beberapa percobaan bunuh diri, namun tidak berhasil. Waktu itu adalah hari tergelap hidupnya.

Ia sangat tau bahwa Tony menginginkan seorang anak, namun lelaki itu menyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa cintanya tidak akan berubah. Kemudian dia mengikuti saran Tony untuk mengambil terapi psikologis demi ketenangan jiwa.

"Jangan konyol. Aku mencintaimu, walaupun dokter mengatakan kau mandul, bagiku itu bukan masalah. Mari makan." Mereka sarapan dalam diam.

Sesuatu melintas di pikiran Windy yang dengan segera disuarakannya, "Kau tau, penghuni di sini menggosipkan seorang wanita hamil di lantai 15. Kabarnya dia tidak bersuami dan seorang pelacur."

Tony terdiam, kemudian bunyi alat makan di hempaskan membuat Windy terkesiap. Dipandangnya Tony dengan tatapan heran. Tony tidak menatapnya, dia masih menatap piring di depan.

"Kurasa bukan hak kita untuk menilai orang lain, Win, apalagi orang itu tidak kita kenal sama sekali." Suaranya terdengar datar dan berbahaya.

"Kamu aneh banget. Aku cuma cerita apa yang aku dengar. Kurasa kamu tidak perlu sampai marah-marah begitu?"

Toni mengangkat wajahnya menatap Windy, mata itu menyorot tajam sementara suaranya menghardik kasar, "Kamu juga ... untuk apa mendengar gosip yang tidak jelas begitu? Sementara kita sendiri tidak mempunyai anak, kau malah menertawakan wanita lain yang sedang hamil. Apa kau belum menyadari itu? Jangan-jangan ini karma!"

SHORT STORY - A COLLECTIONWhere stories live. Discover now