06. THE KING AND A BRIDE (Hisfic)

239 15 3
                                    

Terusan Shanhai, musim semi, 1673.

Kaisar KangXi—kaisar keempat yang masih berusia 19 tahun—memutuskan untuk melakukan perjalanan ke utara di luar Tembok Besar, untuk mengadakan inspeksi tahunan dan ziarah ke makam leluhurnya.

Untuk menghindari tampilan mencolok, beliau memerintahkan rombongannya memakai pakaian biasa. Setelah menyelesaikan baktinya, beliau segera memerintahkan rombongan untuk kembali ke Beijing melalui Terusan Shanhai, salah satu terusan strategis dari Tembok Besar yang juga merupakan jalan utama dari timur laut Tiongkok untuk menuju Beijing.

Tidak menghiraukan udara dingin dan titik-titik hujan yang turun setiap hari, sang kaisar meminta rombongan terus berjalan agar mereka dapat mencapai ibu kota dengan cepat. Beliau khawatir jika harus meninggalkan urusan-urusan negara telalu lama. Kaisar KangXi dan rombongannya berjalan sehari penuh dan hanya beristirahat sebentar pada malam hari.

Dua belas Li lagi dari Tembok Besar, seorang pengawal terlihat berlari mendekati rombongan kaisar. Dari balik tirai tandunya, Kaisar KangXi mengernyit, bertanya-tanya apakah sesuatu telah terjadi?

"Yang Mulia Kaisar KangXi, hamba minta ijin untuk mencegat iringan pengantin dari arah Timur," lapor sang pengawal.

"Wahai Pengawal, untuk apa kita menghambat jalannya iringan pengantin?"

"Yang Mulia, di depan terdapat jembatan batu untuk menyeberangi Sungai Tonghui. Jembatan itu hanya cukup dilewati oleh satu rombongan saja. Jika rombongan pengantin lebih dulu melewati jembatan itu, maka dapat dipastikan kita akan sampai di Tembok Besar setelah senja dan gerbang utama sudah ditutup. Mohon Kaisar KangXi mengizinkan," pinta pengawal sambil menangkupkan kepalan di depan dada.

Panglima besar kerajaan berwajah merah yang berjalan di samping tandu kaisar segera menjawab, "Tentu saja mereka harus mengalah. Apakah mereka tidak tahu, ini adalah rombongan Yang Mulia Kaisar KangXi?"

Kaisar Kangxi berpikir sebentar, kemudian dengan bijak beliau berkata, "Panglima, biarkan mereka jalan terlebih dahulu."

"Tapi, Kaisar—" Panglima menghentikan kalimatnya, saat melihat sang kaisar mengangkat tangan dari balik tirai tipis.

"Saya mengerti kekhawatiranmu, Panglima, tapi setiap hari dalam hidup saya adalah hari agung. Namun, untuk seorang pengantin, hanya satu hari dalam hidupnya—yaitu hari dimana dia menjadi pengantin—adalah hari agungnya. Jadi, biarkan iringan pengantin itu berjalan mendahuluiku."

Wajah panglima yang sudah merah bertambah merah. Lelaki besar itu merasa malu mendengar penjelasan Kaisar KangXi. Tidak disangkanya, meski berusia sangat muda, beliau memiliki pemikiran yang dalam. Maka, dengan kepalan terangkat di depan dada, panglima dan pengawal serentak memberi hormat. "Yang Mulia sungguh bijaksana. Laksanakan!"

Dari dalam tandunya, beliau mengamati iring-iringan pengantin yang terdiri dari 30 orang perempuan dan lelaki. Buah-buahan, kue, dan manisan dalam keranjang-keranjang yang dijinjing para perempuan, menandakan keluarga itu berasal dari kalangan menengah.

Tepat sebelum berbelok ke arah jembatan, angin kencang bertiup dan menerbangkan kain penutup tandu, serta menyingkap sesaat cadar merah dari wajah pengantin. Mata Kaisar KangXi membulat, terpana dengan kecantikan yang terpapar sekejap mata.

Dalam tandunya yang berjalan di belakang tandu pengantin, beliau merasa gelisah. Belum pernah dilihatnya kecantikan seorang perempuan yang begitu menawan hati. Keinginan untuk memiliki sang mempelai wanita merasuki dirinya.

Sebagai seorang kaisar, beliau bisa saja memerintahkan iringan pengantin itu berhenti, agar bisa bercakap sejenak dengan sang mempelai. Atau bahkan, memerintahkan sang mempelai untuk membatalkan pernikahan dengan siapapun lelaki yang akan dinikahinya.

SHORT STORY - A COLLECTIONWo Geschichten leben. Entdecke jetzt