12. ADORABLE MISS LIN (Hisfik)

45 3 16
                                    

Soerabaja, 1897

"Tuan Dokter Joost, ada pasien di bangsal Melati nomor lima." Seorang perempuan pribumi dalam baju perawat memanggil dari mulut pintu ruang praktek rumah sakit.

"Ja, sebentar lagi aku ke sana. Ada sedikit urusan di sini." Perempuan itu mengangguk kemudian pergi.

Sebenarnya bukan sebuah urusan besar, hanya saja artikel yang kudapat hari ini membawaku bernostalgia ke masa lalu. Dalam artikel yang tergenggam di tangan, tertulis : Marie Eugène François Thomas Dubois mendapatkan gelar doktor kehormatan dalam bidang botani dan ilmu hewan oleh Universiteit van Amsterdam.

Setahun sebelumnya Eugene juga dianugerahi Medali Paul Broca oleh Pusat Penelitian Ilmiah Nasional, Paris. Semua penghargaan ini didapatnya atas penemuan fosil Trinil dan analisis posisinya dalam mata rantai evolusi manusia.

Eugene memang pintar, bisa dikatakan jenius, itu terlihat dalam rekam jejak akademisnya. Ketika dia mengutarakan ambisinya untuk menemukan asal usul manusia dan mencari mata rantai yang hilang antara manusia kera dan manusia modern, idealismeku tersulut. Tanpa pikir panjang, aku menawarkan diri untuk ikut dengannya lepas kami lulus kuliah kedokteran.

Aku bisa saja berada di samping Eugene saat dia menerima penghargaan, dan fotoku ada dalam majalah yang saat ini kupegang. Atau bahkan saat ini—mungkin—aku dipercaya untuk meneruskan penelitiannya ketika dia memutuskan untuk pulang ke Belanda dua tahun lalu. Ini semua adalah ambisiku juga.

Namun, itu dulu. Sekarang, aku hanya bisa turut senang. Setelah bertahun-tahun menjelajahi belantara Andalas* dan tanah Java, jerih payah ilmuwan yang dianggap gila itu akhirnya mendapatkan pengakuan dunia. Tidak terasa, sepuluh tahun sudah kami berada di Hindia Belanda.

Di Trinil, di tepi sungai Solo adalah masa kejayaan Eugene ketika penggalian kami menemukan titik terang yang mengharumkan namanya hingga keseluruh dunia. Siapa yang tidak kenal ilmuwan Dubois?

Hal yang tidak diketahui dunia adalah di sini pula hidupnya hancur, saat istri Eugene—Anna Geertruida Lojenga—mengalami keguguran empat tahun lalu.

[...]

"Bagaimana mungkin kau bawa kami ke tempat terkutuk ini?" tuduh Anna dalam Bahasa Belanda, telunjuk gemetarnya tertuju pada Eugene dengan rasa benci. Paras cantiknya tampak pucat akibat pendarahan dan rasa sakit dari hatinya yang robek, karena janinnya yang berumur delapan bulan lahir tanpa nyawa.

"In Godsnaam!* Apa yang kami lakukan di sini, Eugene? Di negeri asing, di mana bayi meninggal dengan mudah seperti daun kering yang gugur ke tanah? Dan kau! Kau meninggalkanku dan pergi ke gunung, ke temanmu di Mringin, tanpa memedulikan aku dan anak-anak. 

"Kau tau bagaimana kondisiku saat mengandung! Bagaimana mungkin kau meninggalkan aku?" teriak Anna histeris, tangisnya pecah tak terbendung. Dua orang perawat berusaha menenangkan dan seorang babu sibuk membersihkan lantai dari bercak darah bercampur air ketuban yang pecah.

Eugene hanya mematung di depan pintu. Matanya terpaku pada janin mati dalam tangannya. Jika saja bayi perempuan itu hidup, mungkin nantinya dia akan menjadi sosok yang cantik dan sempurna, dengan rambut pirang dan kecerdasan yang diturunkan oleh Eugene. Namun sayang, manusia hanya boleh berencana.

Setiap aksara yang dilontarkan Anna benar adanya. Eugene telah membuat orang yang menyayanginya membayar begitu mahal. Berpindah dari satu belantara ke belantara lainnya membuat anak-anaknya tidak mendapat pendidikan yang layak dan masa kecil yang tidak stabil. Anna juga tidak terurus, garis-garis kelelahan terlalu cepat menghias paras cantiknya. Dan sekarang, bayi lucu itu telah tiada.

Kata-kata Anna masih terngiang di pikiranku hingga seminggu setelah kejadian itu berlalu. Dalam temaram cahaya petromaks yang tergantung di langit-langit, aku menikmati bakaran tembakau dalam pipa hisap ditemani segelas kopi panas. Suasana rumah dinas di Toeloeng Agoeng senyap, hanya ada bunyi jangkrik dan binatang malam yang bersahutan.

SHORT STORY - A COLLECTIONWhere stories live. Discover now