10. KISS THE RAIN (Psikologi)

80 11 0
                                    

"Aku mencintaimu. Dulu. Sekarang. Selamanya ...."

Itu kata kekasihku tepat dua tahun yang lewat. Nyatanya, hari ini, dia tidak di sini. Sementara aku, berdiri di tempat yang sama seperti dua tahun lalu dengan sebuah buket bunga berada dalam genggaman, memutar ulang janjinya dengan jelas.

Pagi belum lagi datang, hanya semburat jingga yang membuat guratan abstrak di atas horizon kelabu. Debur ombak yang datang dan pergi seakan tidak terpengaruh oleh perasaan hati. Sepatu kulit berwarna hitam yang pagi ini sudah disemir kilap, sekarang tercemar dengan pasir basah yang menempel.

Di bawah payung hitam, aku tidak dapat menahan tetes air mata yang turun bersama dengan rintik halus hujan di bulan Oktober. Aku tahu apa yang dikatakan kekasihku waktu itu adalah dari lubuk hati yang terdalam. Sayangnya, waktu tidak cukup membuktikan bahwa perasaanku padanya tidak berbeda.

Kupetik, satu per satu, mahkota mawar merah dari dalam buket sebagai persembahan untuk kekasihku di tempatnya yang abadi. Pandanganku nanar melihat angin membawa pergi kelopak-kelopak halus itu, menjatuhkannya di air untuk kemudian ditelan ombak dan hilang. Seiring memoriku yang turut hanyut ke masa lalu.

Masa lalu yang-demi Tuhan-akan kuubah, jika aku diberi kesempatan.

Bella memang bukan perempuan biasa. Dia mengidap AVH-Auditory Verbal Hallucinations-dalam stadium lanjut yang kemungkinan besar dapat menjurus ke arah Schizophrenia. Aku kebetulan adalah psikolog yang menanganinya.

"Aku tidak mau dokter lagi! Aku tidak sakit! Aku benci dokter-dokter itu! Aku cuma mau Ardi kembali!" berontak Bella, ketika dia dibawa masuk ke dalam ruangan praktikku oleh kedua orang tuanya dan seorang suster.

Perempuan itu menangis, menjerit, dan meronta. Kondisinya begitu tertekan dan aku tidak bisa tidak menyelamatkannya dengan berkata, "Hai, Bella. Aku Ardi."

Dia bergeming seketika. Wajah begitu polos di usia dua puluh lima tahun itu menoleh padaku. Matanya bagai jendela yang terbuka, menerawang menembusku. Aku bahkan tidak tahu apakah saat itu Bella melihatku atau tidak, tapi sejak itu, aku adalah Ardi baginya.

Aku mencatat ketika orang tua Bella mulai bercerita. Dua tahun lalu, mereka mendapati perubahan sifat anaknya yang mulai murung dan mengunci diri. Sempat orang tua Bella berpikir bahwa kelakuan anak perempuannya adalah hal yang wajar, mengingat usia Bella yang masih muda.

Psikolog demi psikolog telah mereka datangi untuk mencari sebab kemurungan Bella yang tidak berujung dan terlihat kian parah dengan seringnya gumam tidak jelas lepas dari bentuk bibir indahnya.

Aku bisa mengerti jika orang tua Bella tidak tahu kapan tepatnya anak perempuan mereka mulai mengalami halusinasi suara, yang tidak kumengerti adalah mereka tidak tahu siapa Ardi yang sering disebutkan Bella.

Bagiku, siapa Ardi yang sesungguhnya tidaklah penting. Hal yang penting adalah bagaimana menghilangkan suara-suara itu dari kepala gadis itu. Suara-suara yang membuatnya bibirnya bergerak tanpa bunyi. Suara-suara yang menjauhkan dia dariku.

"Bella, lihat aku. Apa kau mengenalku?" tanyaku pada bulan pertama sesi konsultasi berlangsung.

Tidak perlu dia menjawab. Binar matanya yang berubah cemerlang ketika menatapku sudah lebih dari cukup. Senyumnya yang terkembang membuat hatiku teriris.

"Ardi. Apa kabar?"

"Baik. Aku memikirkanmu setiap hari, Bella. Aku tidak sabar mendengar ceritamu."

Perempuan itu akan tersenyum malu-malu, lalu bercerita. Aku menyimak ketika Bella memaparkan siapa saja yang ada dalam pikirannya.

SHORT STORY - A COLLECTIONWhere stories live. Discover now