13. NINE LIVES

25 2 0
                                    

"I swear to tell the truth,

the only truth,

and nothing but the truth.

So, help me, God."

Dengan rasa prihatin, aku melihat Tuanku dari luar kaca jendela ruang persidangan di lantai dua. Tangan Tuan berada di atas sebuah buku hitam tebal yang dipegang oleh pria berjubah hitam dengan rambut keriting konyol.

Hari ini adalah persidangan akhir kasus pembunuhan yang katanya dilakukan oleh Tuan terhadap seorang wanita malam. Aku yakin, seyakin-yakinnya, bahwa Tuan tidak bersalah. Dia hanya gelandangan mabuk yang kebetulan sedang melewati gang sempit tempat kejadian perkara, ketika teriakan seorang wanita terdengar.

Bosan. Jam dinding menunjukkan hampir satu jam sudah aku mengikuti jalannya persidangan. Aku menjilati punggung tangan perlahan, namun tidak melepaskan pandanganku pada jalannya persidangan.

"Jadi, katakan, bagaimana mungkin sidik jarimu ada di barang-barang milik korban!" Pria berjubah hitam dengan tubuh tegap memukul meja di depan Tuan dan membuat dia terlonjak dari kursi.

Kasihan Tuan, tangan dan bibirnya gemetar sekarang. Matanya bergerak-gerak gelisah, menatap sekeliling ruangan untuk meminta pertolongan. Sementara, pria gempal yang tempat duduknya paling tinggi dalam ruangan, dan sekelompok orang dalam tempat duduk berpagar, menatapnya bergeming.

"Aku tidak tahu mengenai apapun, Sir. Aku melihat wanita itu sudah tergeletak. Aku hanya mengambil uang dan barang berharga. I-itu saja."

"Jangan bohong! Lalu bagaimana dengan dua belas korban lainnya? Apakah mereka juga kebetulan tergeletak begitu saja di depanmu untuk kau geledah dan gerayangi tubuhnya?"

Astaga! Jadi ada tiga belas korban? Hey, kepala jelek, asal kau tahu, kalau Tuan sesadis itu, mungkin sejak dulu dia sudah memotong tubuhku dan memasaknya jadi sop daging.

Tidak ada jawaban dari Tuan, gelandangan kumuh itu menunduk begitu dalam, entah apa yang dipikirkan. Pria dalam jubah hitam mendengkus, kemudian berbalik dan kembali duduk di kursinya. Aku memperhatikan papan pada mejanya bertuliskan 'Jaksa Penuntut'. Ah, aku tahu namanya sekarang dan sebaiknya aku berhati-hati.

Sayap halus berwarna cerah lewat di depanku, kupu-kupu itu menempel di ujung kaca jendela. Sayapnya yang membuka-tutup seakan mengajak aku bermain. Satu lompatan saja, aku bisa menangkapnya, tapi ... tidak, jangan sekarang.

Pergi sana! Hush-hush!

Cakar yang gatal mulai menggores dasar semen tempat berpijak, sementara ekor kuningku berkhianat dengan bergerak antusias ke kiri-kanan. Konsentrasiku pecah antara terus berada di sini, mengikuti jalannya persidangan yang membosankan, atau—aku bisa bermain sebentar dengan kupu-kupu cantik itu.

Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk pergi bermain sebentar. Persidangan ini mungkin masih berjalan, ketika aku kembali. Lagipula, duduk terlalu lama bisa membuat peredaran darah tersumbat dan aku cepat mati. Mati bosan!

Tak berapa lama, aku kembali setelah puas mengejar kupu-kupu ke beberapa rumah di sebelah gedung pengadilan. Benar saja, persidangan masih berlanjut. Duduk di depan jendela lantai dua yang terbuka, aku melihat sepertinya di dalam sana terjadi kericuhan. Orang-orang bicara bersamaan dalam nada tinggi, berteriak dan menunjuk ke arah Tuan.

"Harap tenang!" Palu milik pria gempal dalam jubah merah—dengan rambut konyol yang sama—menghantam bulatan kayu di atas meja beberapa kali hingga papan di depannya yang bertuliskan 'Hakim' sedikit bergeser.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SHORT STORY - A COLLECTIONWhere stories live. Discover now