29 - pulang kampung

54.6K 3.7K 25
                                    

Bulan mengerjap-ngerjapkan matanya. Sinar mentari menerawang menembus retinanya. Bulan terbangun, rasanya ia sudah cukup tertidur sejak tadi pagi. Matanya juga tak lagi terasa panas dan berat.

Kakinya yang terbalut kaus kaki menapaki lantai. Ia menyembulkan kepalanya ke meja petugas. Dan hasilnya kosong, mungkin petugas UKS nya sedang ke luar.

Bulan kembali duduk di ranjangnya dan memakai sepatunya. Matanya melirik arloji silver di tangannya. Pukul 13.30. Sudah setengah hari ia tertidur. Dan sekarang, sudah masuk jam pelajaran.

Karena masih malas berhadapan dengan buku, Bulan mengambil tasnya dan menyeret langkahnya menuju ruangan lain. Ruang musik tentunya.

Bulan mengendap-endap melewati ruang-ruang kelas. Untungnya, kelasnya tidak melewati jalur ini.

Setibanya di ruang musik, Bulan merasa beruntung. Karena tidak ada yang menggunakan ruang musik saat ini. Ia langsung saja membuka pintunya dan menutupnya kembali saat sudah berada di dalam.

Piano. Entah sejak kapan Bulan menyukai musik. Dan sejak bertemu Bumi, Bulan menyukai alat musik bernama piano.

Ah, baru saja duduk di kursinya Bulan sudah ingin menangis. Kenapa? Kenapa cintanya harus dibagi dengan Zera?

Bulan menarik napasnya dalam. Bulan menyentuh tuts piano pertama. Dan setiap tuts yang ia tekan, menghasilkan sebuah ingatan yang membuat air matanya berjatuhan.

"Lo bisa main piano?" Tanya Bumi yang saat itu duduk di atas kursi piano. Sedangkan Bulan berdiri di sampingnya. Bulan lantas menggeleng sebagai jawaban.

Bulan menekan tuts berikutnya. Dan lagi, wajah Bumi yang muncul di benaknya.

"Kak Bumi, yang ini pencet mana?" Tanya Bulan seraya menunjukkan sebuah not di depannya. Bumi mencondongkan tubuhnya di samping Bulan, menepis jarak keduanya. Bulan pun dapat mencium wangi parfum cowok tersebut.

Bulan memejamkan matanya, air mata terus berjatuhan. Tapi, ia tetap menekan tuts-tuts piano itu dan kenangan bersama Bumi terputar kembali.

"Besok gue ajarin lagi. Sekarang, kita masuk kelas dulu. Udah bel." Ucap Bumi seraya menyandarkan tasnya di bahunya. Bulan mengangguk dan berdiri dari kursi piano.

Mereka berjalan bersisian sepanjang koridor. Dan saat mereka hendak berpisah, Bumi menoleh pada Bulan.

"Bulan. Sesuai sama namanya, lo cantik dan teduh untuk dilihat. Jangan salahin gue kalau suatu saat gue mencintai lo!"

Bulan terkejut. Jantungnya berpacu berlipat-lipat lebih cepat. Dengan keberanian yang tersisa, ia mendorong tubuh Bumi hingga cowok itu mundur beberapa langkah. "Kak Bumi apaan sih!"

"Jangan panggil kakak dong, gue kan bukan kakak lo. Tapi, calon imam lo," ucap Bumi dengan pedenya. Dan saat itu juga, pipi Bulan bersemu merah.

Bulan berhenti memainkan piano. Isak tangisnya pecah. Ia menggenggam roknya, berusaha kuat dan tidak lagi menangis. Tapi semua gagal, karena hatinya tetap diremas-remas oleh kenyataan.

"Jangan harap gue akan biarin lo nyakitin hati lo sendiri."

Deg!

Bulan berhenti menangis. Tatapan Bintang yang tajam  kala melihat Bulan menyakiti hatinya sendiri. Dan Bintang yang selalu membantunya bangkit tiba-tiba muncul di benaknya.

Dan seolah penguat, Bulan berhenti menangis. Bulan... malah merindukan Bintang. Apa cowok itu tidak menjenguknya tadi?

Kringg

Bel pulang berkumandang, dan Bulan langsung keluar dari ruang musik. Ia berlari, menuju ke kelas Bintang. Setibanya di sana, napasnya memburu. Bulan menatap seisi kelas. Dan di sana, tak ada Bintang. Bulan mendesah kecewa.

"Nyari Bintang, Lan?" Tanya seorang cowok yang Bulan ketahui adalah sahabat Bintang. Galang.

Bulan mengangguk. "Bintang mana?"

"Gak masuk. Tadi sih minta buatin surat sama gue, katanya sakit."

"Sakit apa?" Tanya Bula  kelewat cemas. Dan Galang mengulum senyumnya. Kalau Bintang tahu, cowok itu pasti akan jingkrak-jingkrak kesenangan.

Galang mengangkat bahunya. "Gak tau. Jengukin aja di rumahnya."

Bulan mengangguk. Benar juga, pikirnya. "Ya udah, gue duluan ya!" Dan Bulan langsung ngacir begitu saja. Apakah Bintang masih sakit karena kemarin? Aduh, Bulan semakin khawatir dan merasa bersalah.

Bukk

Karena tidak memerhatikan jalannya, Bulan sampai menabrak Alena yang sejak tadi mencari dirinya. "Bulan? Lo darimana aja sih? Gue cariin tau!"

Bulan hanya menyengir. Bagaimana ia bisa memberitahu Alena, kalau ponsel saja ia tidak punya.

Alena bernapas lega karena akhirnya Bulan tak terlihat sangat kacau. Lingkaran hitam di matanya sudah tidak kentara.

"Na, kemarin lo yang anter Bintang ke rumah sakit, kan?" Tanya Bulan setelah mengingat sesuatu.

"Iya, kenapa?"

"Bintang parah ya? Kok hari ini dia gak masuk sekolah?"

Alena diam sejenak. Setelahnya, ia tersenyum dan menjawab, "Dia baik-baik aja. Mungkin dia males sekolah, makanya hari ini gak masuk."

Oh iya. Benar juga. Bintang kan anak nakal. "Ya udah, gue mau pulang kalo gitu. Lo mau bareng?"

Alena menggeleng. "Gue udah bilang Kak Resti buat jemput."

"Oke. Salam ya buat kakak terter gue itu!" Ujar Bulan ceria seraya berjalan mendahului Alena. Yang akan ia lakukan adalah, melangkah ke parkiran dan membawa mobilnya menuju rumah Bintang.

...

Bulan mengklakson mobilnya, dan langsung dibukakan pintu gerbang oleh pak satpam. Sepertinya, wajah Bulan memang sudah tak lagi asing di rumah ini.

Bulan turun dari mobilnya, dan dengan berlari kecil ia menuju teras rumah Bintang. Baru saja mau mengetuk, suara dari belakangnya menginterupsi.

"Bulan?"

Bulan menoleh ke belakang dan tersenyum. Ia melangkah ke arah Kinara yang sedang berdiri dengan seorang cowok. Bulan tersenyum pada Kinara, lalu menatap cowok di samping Kinara datar. Bulan jadi teringat dengan kejadian Gerry.

"Kenalin Lan, tunangan gue. Namanya Alex!" Ucap Kinara memperkenalkan pacarnya. "Lex, ini Bulan. Temen spesialnya Bintang."

Bulan dan Alex saling berjabat tangan seadanya. Setelah itu, Bulan kembali menatap Kinara. "Kak, Bintang ada?" Tanya Bulan to the point.

"Eum... Bintang pulang kampung, kangen sama Oma katanya. Kenapa Lan? Kangen?"

"Tapi... kata Galang di suratnya Bintang sakit."

"Kayak gak tau Bintang aja! Alasan sakit mah biar dia gak kena marah guru! Kalau izin kan, pasti mau diintrogasi. Gitu kata dia. Tenang aja, bentar lagi sekolah, kok."

Bulan kecewa. Bukan ini yang ia inginkan. Tapi, sudahlah. Bintang tidak ada di rumah. "Ya udah kak, Bulan pulang, ya?"

Kinara mengangguk dan tersenyum. "Hati-hati!"

***

Jangan lupa vote sama comment nyaa

;^)

Bumi, Bulan, Dan Bintang (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang