39 - Kembali

56.9K 3.6K 48
                                    

Bulan menoleh ke samping kirinya. Mobil dengan kecepatan yang tidak bisa dibilang lambat melaju mendekat ke arahnya. Bulan berteriak sekencang mungkin. Dan secepat mata berkedip, tubuhnya terhempas ke pinggir jalan. Disertai dentuman keras mobil yang menghempas tubuh seseorang. Dan orang itu adalah.....

Bumi.

Darah mengalir dari kepala, tangan, dan kaki cowok itu. Tubuhnya terseret mobil sejauh tiga meter. Membuat tubuh Bulan berguncang hebat. Di depan matanya. Orang yang masih bertahta di hatinya. Terluka karenanya.

Bulan tak menghiraukan tangan juga kakinya yang lecet akibat didorong Bumi. Air matanya jatuh, tanpa suara. Tangisnya teredam oleh ketakutan juga shock yang ia alami.

Bulan masih mematung di tempat. Mengabaikan orang-orang yang hendak menolongnya. Air matanya terus mengalir. Hingga suara sirine bersahut-sahutan menghampiri mereka. Bulan masih diam. Sampai Bumi dibawa ke dalam ambulans, Bulan masih diam. Terkejut, takut, khawatir, marah, sedih, semuanya bercampur aduk saat ini. Membuat ekspresi Bulan membeku, hanya wajah datar yang dapat ia tampilkan.

Bulan masih menangis tanpa suara. Posisinya masih menghadap tempat Bumi terseret. Berkali-kali, kejadian itu terulang di depan sana. Meski kejadiannya hanya terjadi sekali.

Bulan baru bisa menangis keras saat Angkasa datang dan memeluknya hangat. Angkasa tentu khawatir. "Lan, are you oke?" Bisik Angkasa khawatir.

Bulan menangis semakin menjadi. Ia terisak, dan tangisannya sangat memilukan hati. "Bumi... Bumi... Bumi, Kak Angka!!!!"

"Udah, udah. Jangan nangis, kita susul mereka ke rumah sakit, ya?"

Bulan bahkan tak bisa mengangguk. Ia hanya terus menangis dan mengikuti Angkasa kemana pun cowok itu membawanya.

...

Bulan sudah tidak sehisteris tadi. Tapi, ia masih tetap menangis. Dari kaca, ia dapat melihat siluet cowok yang terbaring lemah di sana.

Air mata Bulan terus mengalir. Tubuhnya lemas. Ia tidak makan sejak tadi. Hanya berdiri di depan ruangan Bumi dan menangis. Zara menghampiri Bulan, mereka sama-sama kaget dengan kejadian tadi. Keduanya melihat secara langsung bagaimana Bumi terseret dan darah muncul dari anggota tubuhnya.

Zara memeluk Bulan hangat. "Gue tau lo terpukul. Gue tau lo shock, Lan. Karena gue pun sama. Melihat orang yang kita sayang terluka di depan kita itu, gue tau rasanya. Tapi menangis aja bukan alasan buat Bumi sembuh. Yang harusnya kita lakuin adalah berdo'a, mohon sama Allah supaya Bumi cepet sembuh. Dan lo harus makan, jangan siksa badan lo, kalau ada Bumi, pasti dia marah sama gue. Karena biarin orang yang dia cinta gak makan seharian."

Bulan tertawa hambar, "Aku ikhlas kalau nanti Bumi jodohnya sama Zara. Tapi aku mohon, ya Allah, bangunin Bumi, sembuhin Bumi. Kenapa gak gue aja sih yang ditabrak tadi?"

"Bulan! Itu udah takdirnya Bumi. Lo gak boleh salahin diri lo di sini. Karena gak ada yang salah. Yang salah itu kalau lo salahin diri lo sendiri."

"Zara, kalau Bumi bangun, gue ikhlas kalian jadian."

"Bulan, Bumi itu cintanya sama lo! Gue itu cuma masa lalu buat Bumi. Dan asal lo tau, Bumi selalu mikirin lo setiap saat, bahkan saat sama gue. Lo jangan raguin cinta dia lagi, ya!"

"Zara, gue minta maaf, ya. Selama ini gue anggap lo itu perusak hubungan gue sama Bumi. Gue minta maaf, harusnya gue sadar kalau Bumi susah move on dari lo. Cewek cantik dan baik hati. Siapa sih yang gak akan tertarik?"

"Gue yang harusnya minta maaf. Harusnya gue sadar, gue itu cuma masa lalu. Dan gue emang penganggu hubungan lo sama Bumi. Gue minta maaf..."

Bulan diam sejenak. Ia menghapus air matanya, lalu tersenyum. "Siapapun yang dipilih Bumi nantinya, yang terpenting sekarang kita gak boleh saling membenci lagi. Kita harus do'ain, dia!"

Zara tersenyum dan mengangguk. Ia kembali memeluk Bulan. Miris rasanya mengingat dirinya yang selalu menghantui Bumi untuk meragukan hati cowok itu pada cewek sebaik hati Bulan.

...

Bulan menggeliat di atas kasurnya. Waktu subuh telah masuk, dan ia mengambil handuknya untuk mandi kemudian shalat seperti biasa. Semalam, Bulan pulang pukul delapan malam. Beruntung karena Bayu belum sampai di rumah.

Bulan sudah siap dengan pakaian sekolahnya. Matanya masih agak sembab karena seharian bahkan sampai tengah malam ia menangis. Bulan bergegas menuju ke lantai dasar untuk sarapan pagi.

Sesampainya di ruang makan, Bayu menatapnya intens. Dan Bulan langsung tahu, ada yang salah pada dirinya. Bulan menunduk, dan menghentikan langkahnya di depan Bayu.

"Pah..."

"Kemarin kenapa kamu tidak menemui Aruka? Dan kenapa kamu pulang malam sampai tidak les privat? Kemana aja kamu?" Tanya Bayu bertubi-tubi tanpa menaikkan volume suara. Kendatipun begitu, Bulan tetap saja merasa takut.

"Bulan... Bulan... Bulan kemarin kerja--"

"Kerja apa?!" Bentak Bayu. Bulan menghela napasnya. Sepertinya Bayu mengetahui sesuatu. "Kerja buat bohongin Papah?"

Bulan masih diam. Kepalanya menunduk semakin dalam.

"Sejak kapan Angkasa ada di Indonesia? Sejak kapan kamu ikut ekstra jurnalistik? Sejak kapan kamu sering bolos ke ruang musik? Sejak kapan kamu bolos pelajaran dengan pura-pura sakit?"

Bulan meneguk ludahnya kasar. Bayu... tahu semuanya?

"Papah... tau darimana?"

"Temen kamu sendiri yang bilang! Kamu ini kenapa, sih?! Kamu gak ngerti juga? Papah bilang, PAPAH MAU KAMU BELAJAR BUAT NGELANJUTIN PERUSAHAAN!"

"Tapi, apa Papah juga gak ngerti? Bulan gak mau ngelakuin itu semua karena itu emang bukan kemauan Bulan! Bulan maunya hal yang menuju ke seni, Pah. Terutama menulis!"

"Kamu ini--"

"Stop! Kak Angka udah balik, lebih baik Papah suruh Kak Angka yang ngelanjutin perusahaan!"

"Angka akan kembali ke Italia besok!"

"Apa?!"

***

Tbc

Vote sama comment jgn lupaaa

Instagram: @zkhulfa_

Bumi, Bulan, Dan Bintang (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang