Prolog

7K 352 35
                                    

Saat itu kiranya jam besar di balai kota menunjukkan pukul 6 petang kurang lima belas menit, dan warna jingga mulai memenuhi angkasa yang tak terganggu oleh awan di atas sana. Seorang gadis, rambutnya cokelat dengan membawa sebuah koper kecil terus menatap jam besar itu dari posisinya yang ada di pinggir plaza kota besar tersebut.

Detik demi detik, menit pun beralih secara perlahan, gadis bernama Ellene itu berbalik dan melangkahkan kaki panjangnya dengan tempo cepat setelah jarum panjang jam berada di angka sepuluh. Dengan napas memburu, dia mengejar waktu yang telah dihabiskan hanya untuk memandang jam raksasa di atas kepala tanpa suatu tindakan yang berarti menuju halaman depan balai kota.

Tempat itu tidak begitu ramai pada senja hari ini. Hanya beberapa orang terlihat sedang membaca papan berita yang ada di dekat pintu masuk menuju bangunan balai kota. Si gadis memosisikan dirinya di antara beberapa pria bertopi yang juga sibuk dengan poster yang telah tertempel. Berjinjit sedikit, akhirnya dia dapat membaca bagian lowongan pekerjaan dari sekian poster yang ada.

Kami membutuhkan seorang pembantu rumah tangga. Syarat : masih gadis, dapat bekerja dengan baik, dan berpenampilan menarik. Disediakan fasilitas tempat tinggal dan upah yang memuaskan.
Tertanda : Ambrosia House

Ellene dengan cepat menemukan apa yang dia cari, kemudian ditariknya hingga terlepas poster itu dari papan pengumuman dan dibawanya pergi menjauh. Tersenyum kecil, kertas itu dipandanginya sekali lagi, untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat.

Si gadis mengangguk-angguk membaca kembali tulisan yang diketik rapi pada kertas poster di tangannya. Mengingat kalimat sederhana itu tidak begitu sulit. Ellene secepatnya melipat kertas itu dengan hati-hati dan menyimpannya kembali, kemudian berlari kecil memulai perjalanan menuju Ambrosia House.

Kiranya gadis itu cukup percaya diri untuk mencoba lowongan pekerjaan ini dengan mengandalkan pengalaman hidupnya dan parasnya yang lumayan. Apalagi dia akan digaji oleh orang kaya pemilik Ambrosia House-Henry Rosaline-dan disediakan tempat tinggal, itu sudah lebih dari cukup untuk seorang pembantu rumah tangga di sebuah mansion.

Setelah berlari cukup jauh dari plaza, jalanan yang ada menjadi lebih sepi. Perumahan yang ramai mulai berkurang karena ia telah tiba di bagian pinggiran kota. Sebagai gantinya, beberapa rumah besar yang dipisahkan dengan rimbun pepohonan berdiri tegak sebagai penghias pinggir jalanan yang dilewatinya.

Dirinya tetap berlari, tak sedikit keringat mulai membanjiri, petang di musim panas cukup untuk membuatnya terengah-engah walau hanya dengan berlari kecil di senja ini. Namun, akhirnya penantian Ellene telah berakhir, karena tujuannya telah di depan mata.

Sejauh mata memandang, terpampang nyata mansion besar bercat putih yang tersegel oleh gerbang besi. Melihat objek di hadapan, perlahan-lahan langkah Ellene pun berhenti. Dirinya tengah bersiap-siap dengan membersihkan debu yang menempel di pakaian panjang semata kaki itu, lalu menghembuskan napas yang tertahan seraya mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku gaun merahnya.

Sebuah plat rumah berbahan metal bertuliskan 'Ambrosia House' dengan apik melekat pada dinding depan mansion di hadapannya. Di samping plat, manik Ellene menemukan tombol bel yang dicarinya.

Pepatah bilang, apapun itu baiknya dicoba dulu bukan? batin si gadis mantap dengan tangan yang bersiap menekan tombol bel yang ada di dalam kotak tersebut.

Begitu tombol ditekan, suara bel dari dalam rumah terdengar begitu keras, bahkan hingga dari luar mansion pun masih bisa terdengar. Nada bel yang cukup khas untuk mansion bergaya victorian masih bertahan setelah beberapa detik, tapi tidak ada yang terjadi layaknya tiada yang berani memutus suara nyaring bel tersebut.

Barulah ketika bel benar-benar membisu, seorang pria keluar dari pintu besar mansion yang dapat diintip lewat sela-sela pagar besi. Berpakaian hitam ala buttler dan dilihat dari gaya berjalan pria itu, Ellene menangkap kesimpulan bahwa dia salah satu pekerja di Ambrosia House.

Pria yang tampan, dia berdiri di depan gadis itu dan pagar memisahkan keduanya. Dengan senyuman, buttler yang baru saja menghentikan langkahnya menyapa, "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?"

Suara bariton memecah fokus, si gadis terlompat ke belakang, terkejut karena disapa suara yang tiba-tiba menyapa gendang telinganya. Dirinya tersadar dari lamunan, tersenyum malu pada buttler di depannya.

Ellene menunjukan poster di tangannya pada buttler itu. "Aku datang untuk lowongan pekerjaan ini," ujarnya dengan cepat.

Pria itu memandang sejenak kertas yang ditunjukan lalu mengangguk. "Dimengerti."

"Boleh aku masuk?"

Lelaki itu membetulkan kacamatanya, lalu menatapnya dari puncak kepala hingga ujung kaki. Setelah itu, dia hanya memberikan senyum tipis yang menawan pada Ellene. Kemudian tangan pria itu meraih sesuatu yang tak dapat dilihatnya dari luar gerbang besi.

"Mundur sendikit, Nona."

Ellene mundur selangkah perlahan dan gerbang besi di depannya menimbulkan suara yang cukup berisik akibat pergesekan di besi yang ada. Tak perlu waktu lama, akses menuju mansion bercat putih nan megah itu mulai melebar dan pemandangan indah pun tak luput dari matanya.

"Selamat datang di Ambrosia House," sambut buttler itu lagi, dengan sedikit membungkuk. "Kebetulan Tuan Besar sedang di rumah, saya akan mengantar Anda ke dalam mansion."

Gadis itu mengangguk dan melangkahkan kakinya memasuki area Ambrosia House. Jalan batu menuju bangunan megah di depan mata tertata dengan indah, begitu pula semak mawar merah di kiri-kanannya. Di tengah halaman yang luas, berdiri dengan kokoh sebuah air mancur yang memancarkan keeleganan. Si gadis melewati semua keindahan itu dengan takjub, rasanya seakan terpental ke istana dongeng.

Sayang, semua itu sirna dalam sekejap. Dia tersandung batu karena kecerobohannya sendiri dan menyebabkan bencana. Apa yang ia ingat terakhir kali sebelum semuanya menjadi gelap adalah cat mansion Ambrosia House yang putih anggun menjadi hitam pekat dan serigaian lelaki di sampingnya semakin lebar saja.

"Semoga harimu menyenangkan di rumah ini, Nona Ellene."

Ambrosia House [END] - TELAH TERBITWhere stories live. Discover now