Twelve - Golden Boy

1.6K 162 4
                                    

Raven mengawasi sekitarnya lebih dahulu sebelum membuka mulutnya. Charlie yang melihat manik topaz itu menyapu daerah koridor berkata, "Tenang saja, Kakak tidak akan membiarkan Will bertindak seenaknya lagi."

"Kenapa begitu?"

"Walau Kak Charles itu gagap, dia adalah petarung kuat di rumah ini." Charlie menunjukkan kartu yang dia simpan di sakunya. "Kartu ini kelihatannya biasa saja ya? Namun, kami bisa mengubahnya menjadi benda lempar super tajam, hebat lagi karena Kak Charles bisa membuat kartu ini jadi boomerang setelah mengubahnya menjadi senjata." Anak kelinci itu menjelaskannya pada mereka berdua sambil menyentuh pinggir kartu itu. Dua orang lain yang memperhatikannya melihat bahwa kartu itu berubah menjadi metal karena sentuhan Charlie, akibatnya jari telunjuk anak itu mengeluarkan darah siluman setelahnya.

Kartu itu menjadi senjata yang mematikan, batin Ellene ngeri. "Namun, Will juga tidak kalah loh ...."

Charlie menggaruk pipinya mendengar pendapat gadis di depannya. "Y-yah ... itu memang benar, tapi setidaknya Kakak bisa menghalaunya untuk kita! Itu sudah bagus bukan?"

Ellene berpandangan dengan Raven, butuh waktu untuk mereka berdua mempercayai semuanya setelah segala hal yang terjadi. Untungnya, Raven cepat mengangguk sehingga Ellene ikut percaya.

"Kelihatannya Will sangat berbahaya ya?"

"Benar," jawab Raven kemudian memandang Ellene serius. "Dan dialah salah satu alasan kenapa aku ada di sini."

Gadis menahan napasnya saat Raven mengakui hal terbesar yang selama ini dia sembunyikan. "Ellene, aku ini pemburu siluman dan tugasku adalah memburu orang yang membangkitkan siluman yang memenuhi Ambrosia House." Raven mengeluarkan senapan besarnya. "Itu sebabnya juga aku memiliki Shadow Hunter, aku menggunakan benda ini untuk membunuh mereka, para siluman."

"Apa kaitannya dengan Will?"

"Aku berpikir kalau Will adalah otak dari semua kekacauan ini. Dia tak hanya pintar menipu, tetapi juga licik. Harusnya kau curiga kenapa Will bisa memimpin kita sepanjang jalan kalau dia orang luar Ambrosia House." Berhenti sesaat untuk melampiaskan kekesalannya, Raven mendecih pelan. "Awalnya aku masih berpikir kalau mencurigai Will itu salah, tapi perlahan aku sadar kalau gelagat Will terlalu aneh setelah kita membunuh Ale."

Ellene memandang Raven dengan ragu, dririnya masih mempercayai bahwa remaja berambut pirang di koridor seberang adalah anak baik-baik. "Buktinya apa? Jahat sekali kalau menuduh Will tanpa bukti."

"Ucapannya saat di penjara, kau ingat? Will bilang kalau Ale membersihkan penghuni penjara dengan membunuhnya, kau tidak bertanya bagaimana caranya dia tahu hal itu?"

"Namun, kau tahu kalau Will beberapa kali mencoba kabur dari penjara, kupikir pengalaman itu cukup untuk membuatnya tahu beberapa hal yang ada di penjara, contohnya pembunuhan yang Ale lakukan."

Raven memutuskan untuk duduk di lantai dan mengetuk-ngetuk senapan yang dikeluarkannya sambil melanjutkan penjelasannya. "Ellene, Will juga bilang kalau dia dipenjara lebih dulu dariku dan aku juga tahu hal itu. Will bilang kalau dia juga sudah mencoba banyak kesempatan untuk melarikan diri, tapi aku hanya melihatnya berusaha keluar dari penjara satu kali. Keluar penjara satu kali tidak akan membuat Ale mengatainya Anak Setan dengan mudah, itulah yang jadi titik anehnya."

Ellene sedikit kehilangan kekuatan untuk membela Will saat Raven menunjuk kepalanya seakan meminta Ellene untuk berpikir. "Pasti ada alasan kenapa Ale memanggil Will seperti itu, itulah hal pertama yang membuatku curiga."

"Panggilan Anak Setan itu mungkin karena kelakuan Will?"

"Hmph, panggilan itu kelewat kasar. Gadis Pembantu dan Tukang Tidur tidaklah sekasar Anak Setan, tentu Will dipanggil demikian karena Ale tahu anak itu bukan anak sembarangan."

"Kau menuduh Will terlalu cepat!"

"Bukan itu saja, hal lain adalah ketika kita disambut oleh Noel, sifat Will berubah terlalu cepat. Jika dengan Ale dia tidak terlihat serius, kenapa tiba-tiba dia jadi protektif di hadapan Noel? Satu alasan mungkin wajah Noel tidak normal, tapi di sisi lain mungkin saja Will bohong soal tidak tahu apa-apa tentang lantai atas padahal dia sebenarnya mengetahui segalanya. Saat kita diserang manekin-manekin itu juga, bukankah Will sangat senang bisa membantai para manekin? Sebutan Bocah Setan dari Ale tidak terbantahkan dengan begitu."

Ellene menggembungkan pipinya, merasa kesal karena tidak bisa menjawab lagi. "Apa kau sudah menyiapkan ini semua untuk menyerangku?"

"Aku tidak menyerangmu, aku hanya berusaha membuatmu berhenti mempercayai Will." Raven menggaruk rambut hitam lebatnya. "Kulitnya memang masih seperti bocah, tapi otaknya licik seperti iblis, cih."

"Namun, Raven! Pikirkanlah lagi! Semuanya bisa karena kebetulan, lagipula Will sudah menuntun kita sejauh ini, kau kira tujuan apa yang mau Will raih jika memang Will menjadi lawan kita?"

"Mungkin saja menuju lantai atas? Bertemu Tuan Henry? Mengambil alih rumah ini?"

"Iya, itu benar." Tiba-tiba Charlie yang sedari tadi hanya menyimak perdebatan mengeluarkan suara. "Itulah tujuan Will."

"A-apa?"

"Menguasai Ambrosia House dan isinya seutuhnya," tambah Charlie begitu saja. "Will adalah siluman di lantai atas, penjaga ruangan Tuan Besar Henry. Dia ingin semua kekuatan yang ada di rumah ini, yang mengundang manusia dari luar sebagai tumbalnya."

Mendengar fakta baru yang tak bisa dipercaya, Ellene tersentak. "W-Will seorang siluman, seperti kalian? Yang benar saja, itu tidak mungkin!"

"Alasan Will dikurung di penjara adalah karena dia melanggar peraturan yang ada di rumah ini. Juga benar apa yang dikatakan Kak Raven, julukan Bocah Setan itu memang bukan sekedar julukan, tapi itu adalah nama lain siluman Will."

Ellene menggeleng-geleng tidak percaya, tubuhnya kembali gemetaran. "Itu tidak mungkin, Will bukan orang jahat!"

"Kau terlalu naif, Ellene," cibir Raven. "Kau juga mengatakan hal itu pada Noel dan akhirnya dia sekarang mati karena melawan kita. Bagaimana nasib Will selanjutnya setelah kau mengatainya begitu ya?"

Naif, kata itu menusuk Ellene tepat di hatinya. Satu kata dari Raven itu benar-benar membuat mental breakdown untuk Ellene. Bukan karena hal itu adalah hal yang salah, tapi gadis itu sadar Raven seutuhnya benar. Dia mempercayai segalanya dengan baik-baik tanpa curiga sedikit saja, hingga kejadian buruk menghampirinya karena kepercayaan yang sudah dibangun itu.

Semua berakhir dengan penghianatan, batin Ellene dengan senyum miris. Gadis itu terduduk di samping Raven dengan kepala terbenam di tekukan kaki, kembali merasakan perasaan mendung menghampiri hatinya. Charlie juga duduk di samping Ellene, hanya bisa mengelus kepala gadis itu iba.

Raven juga pada akhirnya ikut mengelus kepala gadis itu karena atmosfer berubah dengan cepat. "Percaya pada orang lain itu baik, tapi jika kau jadi naif di rumah ini kau hanya akan membahayakan dirimu sendiri."

Dengan kepala masih menunduk, Ellene bertanya dengan lirih, "Kenapa kau begitu? Tidak konsisten, sebentar jadi dingin, sebentar jadi orang yang hangat."

Raven tersenyum kecil, tangannya masih menepuk-nepuk kepala Ellene. "Hm ... itu karena kau mirip dengan adikku, mungkin?"

"Adik?" Kepala Ellene langsung naik. "Kau punya adik?"

"Begitulah, dia mirip denganmu, lebih muda dua tahun. Rambutnya juga cokelat, tapi irisnya berwarna emerald." Raven bercerita dengan kepala mendongkak dan mata terpejam. "Sayangnya dia juga menghilang di rumah ini dan tak pernah kembali."

Ellene mendengar pemaparan singkat itu memberikan tatapan simpati pada Raven. "Pantas saja sifatmu berubah-rubah."

"Pantas apa?"

Ellene langsung membuang muka. "Pantas untukmu. Bukan apa-apa kok, aku cuma bicara sendiri."

Mereka bertiga akhirnya tersenyum lagi, dengan cepat berdiri dan membersihkan debu yang menempel di pakaian dan bersiap melanjutkan kembali menyusuran koridor. Charlie mencoba mengubah suasana dengan berkata, "Baiklah, kupikir kalian sudah siap. Aku akan mengantar kalian ke tempat yang aku janjikan, ayo ikuti aku."

Ambrosia House [END] - TELAH TERBITWhere stories live. Discover now