Fifteen - Corridor

1.5K 174 8
                                    

"Aku ... tidak ingat namanya."

Raven menatap Alice tajam, tidak puas karena tidak menjawab pertanyaan dengan baik. "Kau benar-benar tidak ingat?"

Alice menggeleng lemah, wajahnya sedih karena kehilangan memori lama yang dirasa penting untuk saat ini.

"Lalu bagaimana rupa kakakmu?"

"Um? Dia masih muda, rambutnya pirang, kulitnya pucat, dan matanya berwarna merah, itu yang bisa kuingat darinya."

Ellene dan Raven berpandangan, berpikir bahwa kawan mereka di koridor barat adalah orang yang dimaksud gadis di depan mereka. Semuanya sesuai untuk Will, tetapi mata kakak Alice berwarna merah, bukan safir seperti Will.

"Lalu bagaimana dengan rupa ayahmu?"

"Ayah? Beliau adalah pria yang tinggi sekali, dia berkumis dan juga memakai kacamata dengan rantai. Ayah suka memakai parfum bau kayu manis dan menyemprot mulutnya dengan cairan beraroma mint, sehingga beliau begitu wangi bahkan jika hanya di rumah. Beliau juga selalu membawa tongkat dan-"

"Tunggu-tunggu!" potong Ellene saat Alice menjelaskan ayahnya panjang lebar. "Kau ingat ayahmu sebagus itu, tapi tidak bisa ingat kakakmu? Bagaimana bisa?"

Alice meraba kepalanya dan berkata dengan suara pelan. "Itu karena kalian mengatakan kalau ayahku adalah Henry Rosalina. Memori soal Ayah muncul di otakku saat kalian mengatakan nama Ayah padaku." Gadis itu memandang Ellene yang bertanya padanya. "Aku tidak ingat nama Kakak. Aku bilang pada kalian seperti itu karena itulah rupa terakhir Kakak yang muncul di memori sebelum aku tidur."

"Kalau begitu, apakah kau familiar dengan nama William?"

Ellene berpikir bahwa Raven akan menyebut nama Will, tapi kenyataannya justru berbeda. Bukan hanya itu gang aneh, Alice kembali menggumam tak jelas setelah nama itu dilontarkan padanya.

"Kenapa kau menyebut William? Bukan Will?"

Raven menjawab dengan pandangan masih tertuju pada Alice. "Will adalah kependekan dari William. Aku melihatnya pada foto yang terbakar di galeri."

Kemudian Raven menoleh ke arah Charlie. "Itu juga alasan kenapa kakakmu sangat takut ketika ada yang rusak di galeri bukan? Karena memori Keluarga Rosalina disimpan di sana." Setelahnya Raven mendengkus. "Maka alasan bahwa Will masuk ke sana karena penasaran pun hanya untuk membohongi kita, karena dia tidak ingin kita tahu siapa dirinya sebenarnya."

"Apa aku benar, Charlie?"

Pandangan Charlie terhadap Raven menjadi pias, anak itu tertunduk cukup lama setelah Raven menjelaskan hal itu. "Itu menjadi masuk akal sekarang, Raven. Tentang Will, tentang Kakak, itu masuk akal sekarang."

"Kakakmu tidak bilang padamu?"

Charlie menggeleng lesu. "Kakak hanya bilang padaku untuk menjaga galeri dari siapapun tanpa boleh memasukinya."

"Kakakmu sendiri pernah masuk ke sana?"

"Iya, aku pernah melihatnya keluar dari sana. Ketika mata kami bertemu, dia ketakutan bukan main dan langsung berlari ke arahku. Kakak berkata bahwa aku tidak boleh masuk ke sana ... karena isi ruangan itu mengerikan." Charlie mengepalkan tangannya, menggeram. "Namun, kenyataannya galeri sangatlah indah, Kakak benar-benar sudah membohongiku."

Ellene yang sedari tadi hanya diam dan berpikir menyahut dengan cepat. "Menurutku, kakakmu tidak sepenuhnya berbohong, Charlie."

Ellene memejamkan matanya dan mengetuk-ngetuk dagu untuk menjelaskan sembari berpikir. "Kita semua tahu galeri indah bukan? Namun, Will bisa-bisanya membakar salah satu benda indah di sana. Kupikir alasan yang bisa membuat Charles dan Will sama-sama segan berada di galeri adalah foto yang dibakar oleh Will."

"Raven, kau melihat nama asli Will di figura foto yang terbakar itu bukan? Will pura-pura shock saat foto itu terbakar dan Charles juga menjadi panik saat itu. Foto itulah alasan yang membuat Charles takut jika kau dan kita semua masuk ke galeri, itu adalah foto asli Will sebagai William Rosalina!"

Alice melotot mendegar Ellene menyebut kata kunci baru. Gadis itu langsung menunjuk Ellene tanpa menunggu lebih lama. "Itu, itu nama Kakakku! William Rosalina!"

"Tunggu! Ada yang aneh!" Charlie menyela Alice tak kalah keras. "Jika William atau Will adalah kakakmu, bagaimana bisa dia menjadi siluman?"

Tahunya Alice terkejut mendengar itu dan membeku di posisinya. Ellene mencengkram bahu Charlie dan menanyai anak itu tak sabar. "Apa maksudmu bertanya begitu? Apa kau mau bilang orang yang masih hidup tidak bisa menjadi siluman?"

"Memang begitu kenyataannya! Kami para siluman pernah mati sebagai makhluk hidup, kami bisa bangkit seperti ini karena jiwa kami terisi oleh kegelapan!"

Mata mereka semua terbuka di hadapan Charlie yang berseru memecah keheningan lorong. Anak dengan telinga kelinci itu mengelus punggung tangan Alice yang pucat kulitnya dengan meringis. "Nona, apa kau ... tidak ingat aku? Apa kau tidak ingat Charlie dan Charles?"

Alice mengelus telinga kelinci putih Charlie dengan pelan, menatap wajah porselen anak lelaki di depannya dan berusaha mengingat sekuat tenaga. "Charlie ... Charles ...?"

Ellene dan Raven menunggu jawaban dengan hati berdebar. Kenyataannya bahwa Alice menjadi karakter kunci pada pembicaraan kali ini tidak bisa membuat mereka tenang sedikit saja karena memori yang kembali sangat penting untuk mereka. Alice yang terlihat sangat polos membuat kedua insan yang tabu akan keadaan sekarang hanya bisa menunggu dan menggigit bibir tak sabar.

"Kalian ... kelinci peliharaanku?"

Charlie akhirnya tersenyum, semua rasa gelisah di wajahnya menguap begitu saja. Anak itu memeluk Alice lega nan gembira. "Kau mengingat kami! Syukurlah!"

"Namun ... kalian sudah mati ... kan?"

Kalimat selanjutnya lah yang membuat Ellene dan Raven membeku, ditambah lagi Charlie tersenyum pahit sebagai jawabannya dan mengangguk lemah begitu saja.

"Kalian kukubur di halaman belakang ... kenapa kalian jadi seperti ini sekarang?" Alice mengeleng-geleng tak percaya. "Aku sudah mendengar jika kalian menjadi siluman setelah mati, tapi kenapa? Kenapa menjadi ... makhluk jahat?"

Charlie memejamkan mata, perlahan dibawanya tangan Alice dan dikecupnya punggung tangan itu lembut. Tanpa pemaksaan, dengan perasaan murni, hingga si gadis itu terpana sejenak.

"Karena kami ingin mengabdi padamu, bahkan setelah kami mati, Nona Alice."

"Kau benar-benar sangat baik pada kami berdua saat kami masih hidup, Nona Alice. Kami hanya makhluk kecil lemah, tapi kau menjaga kami dengan baik hingga kami mati karena kebodohan sendiri. Kebaikanmu benar-benar membuat kami tidak rela mati, hingga kami berdua memilih menjadi siluman untuk mengabdi padamu."

Sebuah pengabdian, mengorbankan diri untuk menjadi penjaga sang putri, masa lalu Charles dan Charlie telah terkuak berkat memori Alice sang karakter kunci. Hal-hal yang kabur kini menjadi jelas, dimulai sari Ale hingga si kembar dapat ditelaah lebih mudah.

"Jika kalian berdua mati dan menjadi siluman, itu berarti Ale, Noel... dan Will juga demikian?"

Pertanyaan Ellene disambut anggukan oleh Charlie. Alice mengulang nama Ale sesaat dan kembali menggumamkan namanya.

"Ale ... si hitam? Kucing hitam penjaga pintu?"

"Kau mengingatnya?"

"Um ... iya. Dia kucingnya Kak William."

Akhirnya, identitas si anak setan terkuak perlahan-lahan. Pandora di Ambrosia House menunjukkan kebenaran yang tersembunyi di rumah ini sedikit demi sedikit.

Alice Rosalina, tuan putri Ambrosia House telah bangun dari tidur panjang, seutuhnya.

Ambrosia House [END] - TELAH TERBITWhere stories live. Discover now