Seven - Kitchen

1.8K 171 10
                                    

"T-tapi ... Noel sudah bilang kalau dia menyerah bukan? Harus kah kita 'melakukan itu' padanya layaknya Ale?"

Keraguan Ellene disambut dengkusan dari Will. "Jangan percaya mukanya yang kelihatan tak berdosa itu, kau ingat dia menyajikan makanan beracun dan manekin untuk membunuh kita? Siluman seperti dia mana mau menyerahkan diri begitu saja?"

Ellene tercenung dan langsung ingat pada apa yang disampaikan Raven di ruang makan untuk tidak percaya siapapun yang ada di Ambrosia House. Namun, wajah Noel sangat imut, kenapa dia melakukan itu pada kami? batinnya dengan tangan mengerat pada gaun merahnya.

"Lebih baik cek dulu keributan apa itu," ujar Raven lalu membuka pintu Guest Room. "Kita tidak punya banyak waktu lagi, ayo pergi."

Will menepuk pundak Ellene, meyakinkannya. "Semua keindahan Ambrosia House itu cuma ilusi, harusnya kau tahu itu, Kak. Jadi jangan ragu untuk menghadapi penghuni rumah ini."

Ellene menggigit bibir bawahnya, mengangguk berat hati dan menyusul Will meninggalkan Guest House di belakang. Semua persiapannya telah disimpan di saku gaunnya, hanya mental untuk menyerang Noel saja yang belum siap.

Ellene yang selama ini mengagumi domba membayangkan dirinya sendiri membunuh makhluk berwajah tak berdosa itu. Walaupun Noel melakukan suatu hal buruk pada mereka, dirinya tetap tidak bisa menerima bahwa kelak nasib pemilik wajah domba itu akan berakhir seperti Ale.

"Ellene."

Gadis itu tersentak saat suara bariton memanggilnya, pemilik suara itu menaikan alis. "Kau tak mau melakukan ini?" tanya Raven melihat sedari tadi Ellene hanya tertunduk.

"Bukan begitu," lirihnya pelan, kedua tangannya saling bertaut. "Aku tentu ingin segera meninggalkan tempat ini, tapi jika harus membunuh Noel untuk itu ... sepertinya aku tidak yakin dengan diriku sendiri."

"Kau tak perlu khawatir, Kak Ellene. Kami kan menjagamu, kau tak perlu mengotori tanganmu hanya untuk mengurus siluman domba itu," sahut Will di depannya. "Lihatlah kenyataannya, Noel juga bisa berubah jadi makhluk mengerikan pada saatnya nanti, jadi jangan terbayang muka yang kau sukai itu."

"Dia benar, jangan diberi ampun atau kau nanti yang celaka."

Ellene menatap dua rekan di depannya terdiam sejenak, menarik napas kemudian menepuk-nepuk pipinya. "Baiklah, aku melakukan ini untuk kalian, jadi jangan kecewakan aku juga."

Will membalas Ellene dengan memberikan jempol dan senyuman berhias gigi putihnya, sementara Raven hanya berdeham dan menunjukkan ekspresi tenang di wajahnya yang dingin.

Langkah mereka tiba di depan pintu dapur. Will sudah menyiapkan pisau yang disembunyikannya di balik lengan baju untuk aksi kapan saja, sedangkan Ellene bersiap untuk mengambil senjata di sakunya. Raven yang melihat persiapan itu, berbisik, "Tunggu aba-aba dariku dan jangan asal serang, kita tidak tahu apa yang direncanakan Noel. Pokoknya jangan gegabah, mengerti?"

Saat mereka berdua mengangguk, Raven membuka pintu dapur dan langsung mengunci matanya pada sosok di depan kompor. Buttler itu berbalik, memberikan senyuman canggung.

"Maaf, apa kalian terbangun karena suaraku?"

"Apa yang kau lakukan?"

"Tentu memasak untuk makanan kalian," jawab Noel ramah. "Sekali lagi maaf untuk keributan tadi, aku tidak sengaja memecahkan gelas dan membuat kalian terbangun."

Ellene mengobservasi keadaan dapur selama Raven membuat Noel sibuk. Di meja masak ada sekeranjang sayuran dan buah-buahan yang sudah disiapkan, beberapa botol bumbu dengan isi bubuk aneh dan sebuah daging kering yang tergantung di dinding dekat lemari pendingin. Suasananya masihlah dapur normal, hanya saja bahan makanan itu memberikan hawa aneh baginya.

Ambrosia House [END] - TELAH TERBITWhere stories live. Discover now