Wattpad Original
There are 9 more free parts

Prolog

17.5K 547 10
                                    


Papaku

Orang yang baik

Dia suka memberi kepada orang lain

Dia tidak pernah marah

Selalu bicara dengan lembut

Semua orang menyukainya

Jika besar nanti aku ingin menjadi seperti Papa

Najandra Adhyaksa memandang halaman buku tulisnya. Nilai sembilan puluh untuk tugas mengarang pendek dengan tema tokoh idola. Senyum bangga memunculkan lesung di pipi kirinya. Teman sekelasnya kebanyakan membahas tentang pahlawan super atau pemain bola. Namun, dia berbeda. Idolanya adalah Papanya.

Andra akan menunjukkan tulisan tangan itu segera setelah sampai rumah. Papa pasti sangat suka. Kaki kecilnya mengetuk lantai mobil, tidak sabar menunggu pintu gerbang tinggi rumahnya terbuka.

"Tuan Muda." Salah satu pelayan favoritnya menyapa ketika ia turun di depan pintu utama. Favorit, karena jika pelayan itu ada, artinya Papa sedang di rumah.

"Papa mana?" tanyanya bersemangat.

"Tuan di ruang kerja. Sebaiknya Tuan Muda bermain dulu. Tuan sedang ada pekerjaan."

Perkataan itu tidak diacuhkan. Andra berlari masuk ke rumah, mengendap-endap mendekati ruang kerja Papanya. Ingin memberi kejutan. Namun, langkahnya terhenti di depan pintu. Dia mendengar suara benda jatuh dan erangan seseorang. Tengkuknya meremang, perutnya mual, tubuhnya menggigil.

Dari sela pintu, Andra melihat Papanya, orang paling baik yang dia kenal, sedang menendang bertubi-tubi seorang lelaki yang terkapar tak bergerak.

"Jika sampai terjadi sesuatu karena kebohonganmu, akan kuambil semua yang tersisa darimu!"

▪▪▪

Berlian Yasa duduk di sofa ruang tamu. Rok tutu biru menyembul dari tas. Pita dari sepatu baletnya menjuntai dari lubang yang sama. Biasanya di sore hari, pada waktu seperti ini, dia akan menari di ruang keluarga. Mengulang apa yang dilakukannya di sanggar, menunjukkannya di depan Ayah dan Bunda.

Namun, tidak hari ini. Lian sedang kesal. Kakinya terkilir ketika latihan. Padahal tiga hari ini pementasan. Ayah dan Bunda juga tidak menepati janji untuk menjemputnya di sanggar. Dia pulang dengan sopir keluarganya yang berwajah muram.

Suara pintu terbuka membuatnya bersemangat. Sayangnya bukan orang tuanya yang datang. Kakek masuk dengan wajah yang tidak menyenangkan.

Lian makin cemberut. Pipinya mengembung. "Kok Ayah-Bunda belum pulang, Kek?"

"Ayah-Bunda tidak akan pulang. Mulai sekarang Lian bareng Kakek, ya."

Mata madu Lian mengerjap, wajahnya memerah. "Nggak mau!" teriaknya, langsung melompat turun dari kursi, melupakan nyeri di pergelangan kaki. "Lian mau Ayah-Bunda pulang. Ayah-Bunda sudah janji!"

"Lian ...." Panggilan itu masih lembut, tapi diabaikan. Si gadis berjalan terpincang menuju tangga, dia mengibas sebuah vas yang bisa tangannya gapai. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan. "BERLIAN YASA!" Suara sang Kakek menggelegar.

Langkah Lian terhenti di anak tangga terbawah. Badannya gemetar.

"Maaf, Kakek sedang lelah." Kakek menghampirinya, berlutut hingga wajah mereka setara. "Kakek yakin, cucu Kakek gadis yang kuat. Ayah-Bunda kamu bukan tidak mau pulang, mereka tidak bisa pulang. Jangan marah ke mereka, oke?" 

(un)Shattered DiamondWhere stories live. Discover now