"Apa kabar, Pak?" tanyaku basa basi. "Sudah lama, ya?" desisku tertahan. Kutampilkan senyum terpaksaku.
Aku tak ingin membuat scene tak pantas dengan berpura2 baru bertemu dengannya. Ya Tuhan, apa pria ini sengaja membuntutiku hingga kemari atau ini suatu ketidaksengajaan tapi dengan dalih pekerjaan. Rasanya nggak mungkin urusan mutasi karyawan sampai ke mejanya.
Kami sedikit mengobrol karena dia hanya beberapa hari di sini; syukurlah dan semoga dia tidak memperpanjang masa kunjungannya. Dan juga hari menjelang malam saat kami selesai briefing singkat dengan karyawan di sini.
Aku sudah beranjak dari kursi dan hendak keluar ke arah gerbang kantor saat tangan besar dan panas mencengkeram lenganku. Ransel yang kusampirkan separuh melorot saat tanganku ditarik ke belakang tiba2.
"Oi!" sentakku. Aku berhenti untuk melihat siapa yang dengan kurang ajar ingin membuatku tampak bodoh dengan jatuh si lantai.
Kulihat ada seringai tipis di mulut pria itu. Sama sekali tak terlihat ada penyesalan di matanya. "Ada apa, Pak?" geramku tertahan.
Pria itu memiringkan kepalanya sambil membenarkan letak ransel dengan tangannya yang bebas. "Saya dengar kamu baru juga di aini. Saya bisa bareng kamu tidak?"
Aku cukup terkejut. Memangnya dia tidak memiliki asisten yang mengurus agendanya? "Apa?!"
"Saya belum sempat booking hotel. Bisa minta tolong antarkan saya ke hotel terdekat?"
Pak Nur menyela dengan berdehem. "Biar sopir saya aja, Pak, yang mengantar."
"Iya, benar. Saya naik taksi, Pak." tolakku. syukurlah area sales manajer tambun itu masih ada di sini. Karena yang lain sepertinya sudah tidak kelihatan batang hidungnya.
"Tidak usah, Pak Nur. Saya nggak mau merepotkan," dalihnya. Tapi aku yang kerepotan, batinku.
"Oh, tidak apa2, Pak," sergah pak Nur merendah
Namun pria itu tetap menolaknya. "Tidak usah, Pak Nur pulang saja. Saya bisa bareng Arianna. Benar kan? Lagi pula saya ada yang harus dibicarakan dengan beliau."
Eh? Apa yang harus kami diskusikan? Memang ada bahan pembicaraan penting? Alis mataku tertarik ke atas penasaran.
"Benar, Pak? Saya bisa minta sopir saya buat nganter ke mana aja kok."
"Terima kasih atas tawarannya."
"Ya sudah sampai besok, pak. Arianna."
Selagi aku menunggu taksi, di luar hujan turun dengan deras. Ransel besarnya tersangkut di bahu dan punggung lebarnya. Dia berjalan dengan kruknya, aku jadi sedikit kasihan.
Ingin kubantu tapi reaksinya pasti nggak bakal mau. Aku pernah melihat bahwa mereka yang ketika yang memiliki kekurangan tubuh, saat seseorang membantu mereka, kebanyakan mereka tidak mau terlihat dikasihani.
Well, kan setidaknya aku berniat membantunya, bukan mengasihani. Tapi lebih baik aku menahan diri.
"Memangnya Bapak nggak pesan hotel atau bagaimana sebelum ke sini? " tanyaku basa basi lagi.
Pria itu diam saja, entah dia sengaja mengacuhkanku atau memang tak mendengarku. Ya sudah, aku terlalu lelah hingga aku nggak bakal repot2 peduli lagi.
Selagi aku mengoceh dalam hati, taksi onlineku datang. Beruntung aku sebelumnya aku nggak pesan motor. Atau ini memang instingku yang sudah merasakan bahwa seseorang akan nenumpang padaku.
Aku membantunya membukakan pintu mobil dan menahan ranselnya. Setelah dia duduk nyaman, kusodorkan padanya kembali. Sedangkan aku berjalan ke sisi satunya dan menghempaskan pantatku di sisi satunya.
Kami duduk di kursi penumpang dalam diam. Tak ada satu pun dari kami yang berniat memulai pembicaraan sepertinya. Sudah sampai di area pusat kota, dan aku nggak tahu harus menurunkannya di hotel mana.
Kuberanikan diri menanyakan kembali. "Maaf. Bapak mau turun di mana? Sudah sampai di dekat hotel."
"Sama dengan kamu saja."
"Tapi, Pak ... Kan saya di apartemen, bukan hotel," sergahku.
"Iya, turun di situ saja."
"O...ke." jawabku lamban. Mungkin dia menyewa salah satu apartemen di sana. Aku tidak bertanya lebih lanjut lagi, kemudian meminta sopir untuk menurunkanku di daerah L, apartemen K. "Gedung yang sebelah sana, Pak."
"Sudah sampai, Mbak."
"Kalau begitu saya turun duluan, Pak." Kubayar argo taksi dan segera keluar dari sana. Ranselku tertahan saat aku hendak menjejakkan kaki di aspal.
"Bantu saya."
Apaan lagi ini?! "Baik, Pak."
Begitu pria itu turun dari mobil, lalu mengucapkan terima kasih kepada sopir, aku melenggang pergi meninggalkan pria itu. Dia kan bisa berjalan sendiri, mungkin juga dia menyewa di salah satu gedung. Yah, kalau dia perlu bantuan, dia bisa meminta salah satu penjaga gedung.
Aku baru beberapa langkah hendak masuk naik ke tangga menuju lobi apartemen, saat suaranya memanggilku dari belakang.
"Arianna, tunggu!"
Aku mendecak kesal. Bisa2nya pria ini merepotkanku. Tidak tahukah dia kalau aku hanya ingin kembali ke rumah, menyantap makan malam yang hangat dan bergelung di ranjang? "Ada apa lagi, Pak?"
"Bisa kita jalan bareng saja?"
"Lho memangnya Bapak tinggal di gedung yang mana?" tanyaku penasaran. Lagi2 pria ini susah kutebak apa maunya.
"Sama dengan kamu." Eh...?!
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
SHADOW MARRIAGE (End)
Romance"Tuhan, aku mengaku salah, tapi tolong dosanya ditagihkan ke Joleen saja, please...." Ketika acara akhir pekan yang kupikir bakal menyenangkan, ternyata harus menjadi hal yang akan paling kuingat seumur hidup, rasanya pengen banget aku menghilang aj...