"Brandt, aku sudah lelah." Dalam keadaaan seperti ini aku nggak yakin otakku mau diajak berpikir. "Jadi, kumohon, jangan bercanda."
Aku memejamkan mata, aku benar2 ingin mandi, makan, lalu tidur. Rasanya aku sudah kehilangan sopan santunku dengan memanggil nama depannya langsung. Kugertakkan gigiku dan menahan kesal yang hendak menyembur keluar.
Kusandarkan punggungku ke badan sofa lalu kutumpangkan lenganku ke dahi dan menutup mata. "Kalau kamu nggak ada yang ingin dikatakan lagi, apa sebaiknya kuantar ke depan?"
"Kalau kamu sebegitunya ingin saya keluar dari sini—"
"Nah!" Aku terlonjak bangun, kemudian menjentikkan ibu jari dan telunjukku. Mataku bersinar girang memikirkan pria itu tersaruk pulang. Sungguh brilian sekali dia menyadarinya. "Kalau kamu sudah tahu, kenapa tidak sekarang saja?"
Brandt berdecak. "Saya sudah mengatakan kalau akan menginap di sini. Toh kita sudah menikah, kalau kamu lupa. Jadi wajar saja kan kalau saya tinggal bersama istri saya," sergahnya.
Bahuku terkulai lemas dan jatuh kembali di sofa. Lagi2 dia berpikir seperti itu, apa tidak ada alasan lain yang lebih baik. Walaupun aku tidak tahu bagaimana soal 'baik' itu.
Omong2 bau tubuhku benar2 nggak enak. Tapi bagaimana cara mengusir pria ini? "Brandt ... berapa kali harus kubilang, kamu dan aku tidak pernah ada kata itu! Mungkin justru kamu yang lupa kalau istrimu adalah wanita lain. Atau kamu lebih suka dengan konsep perselingkuhan?"
"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" tukasnya. Jari2 besar dan berwarna pucat kecoklatan itu mulai membuka dua kancing teratas kausnya. Jaket kulitnya tersampir di atas ransel hitam besar yang tergeletak di bawah sofa. Tepat di sebelah kakinya, berdampingan dengan kruk miliknya.
Aku mendecakkan lidah. "Memangnya apanya jika seorang pria berada di kamar wanita tapi mereka nggak memiliki hubungan apa pun. Kamu dan aku juga nggak sedekat itu untuk kamu bisa tinggal atau menginap di sini." Aku berusaha memutar otak. Ah, tante Julia. "Atau perlu kutelepon ibu mertuamu untuk menyeret dn membawamu pulang? Kurasa dia tidak keberatan memberikanmu satu dua petuah. Sebelum aku dituduh menjadi seorang wanita penggoda dan dia mencabik habis diriku."
"Saya juga lelah, Arianna," desahnya pasrah. "Jadi biarkan saya tidur di sini malam ini. Tidakkah kamu punya sedikit rasa kasihan pada saya kalau kamu membiarkan saya mencari hotel sekarang?"
Kugertakkan mulutku lagi, menggigit lidah agar tidak menyemburkan kata2 yang mungkin bakal kusesali nanti. Mencoba membujuk pria keras kepala ini sama saja dengan berbicara dengan anak usia lima tahun. Dan aku bukanlah orang yang pandai berbasa basi. Kuangkat kedua tanganku sambil beranjak dari sofa. "Terserah!"
"Oh ya, soal ibu mertua saya. Dia sendiri yang mengatakan tentang kejadian itu. Jadi dia tidak akan berbuat macam2 atau melakukan hal seperti yang kamu bilang tadi. Beberapa orang perlu mendapat bujukan yang bagus," tambahnya.
Aku benar2 nggak peduli, entah pria itu keluar dari rumahku atau dia serius dengan kata2nya. Kuanggap dia tidak mengatakan apa pun untuk yang terakhir tadi. Aku sengaja mengunci kanar satunya yang kupakai untuk meletakkan barang2 yang belum sempat kubuka. Biar dia segera angkat kaki dari sini.
Kuputuskan untuk mandi dan berendam. Lalu memesan makanan selagi aku di kamar mandi. Rupanya aku masih memiliki sedikit rasa kasihan dengan menambah porsi jatah makan malam untuknya juga. Kupesan beberapa makanan melalui aplikasi online, yang syukurlah aku hidup di jaman serba mudah seperti ini.
Makan malam tanpa ada satu pun yang berbicara, karena akunlebih aibuk dengan ponsel di tanganku dan mulutku hanya untuk mengunyah. Kubiarkan saja pria itu melakukan apa yang dia mau selama itu tidak mengangguku.
Aku tertidur tanpa merasa gelisah, karena kupikir dengan keberadaan orang asing akan mengganggu kenyamananku. Namun, nyatanya aku baik2 saja. Entah ini bakal baik bagi kesehatan mentalku atau memang karena aku lumayan 'mengenal' pria ini.
Kurasakan ranjangku sedikit bergerak saat aku masih dalam keadaan setengah tersadar. Dan tiba2 saja rasanya ranjang ini menjadi lebih hangat.
***
"Bangun, Arianna," bisik suara maskulin itu. Samar2 aku mencium baunya yang segar, aroma aftershave yang kuat tapi menyenangkan. Campuran antara kayu segar, pinus, dan juga sedikit citrus.
Aku menggeliat tak suka. Awas saja dia, siapa pun itu, termasuk Sammy sekalipun. "Ugh..."
"Kalau kamu ingin kita berdua terlambat," bujuknya lagi. Dan semakin jauh kulesakkan tubuhku dalam selimut. Setelah itu aku tidak mampu lagi mendengar suara apa pun.
Kurasakan tubuhku berguncang untuk yang ke sekian kalinya. Sammy pasti sedang mengerjaiku, atau Joleen. Lagi2 aku mengetatkan selimut yang membungkus tubuhku. Aku benci bangun sebelum pukul 6, kecuali keadaan memaksaku demikian. Kulirik jendela kamarku masih temaram. "Sebentar, Sam ... Gimme five ..."
"Arianna, kalau kamu ingin melakukannya sekarang, dengan senang hati akan saya ikuti," ancam suara dalam itu lagi. Ditambah belaian di rambut pendekku, menyingkirkan helain2 kecil di wajahku. Kecupan2 kecil di sekitar bahu, leher dan wajahku.
"Hm," gumamku lirih.
Tepukan di bahuku lagi. "Bangun, istriku."
Apa?! Semburan air dingin rasanya nggak sebanding dengan sebutan itu. Serta merta mataku terbuka lebar melihatnya berada di atas ranjang, tepat di belakang tubuhku. "Kamu sedang apa di sini?!"
"Sofa yang saya pakai tidak terlalu nyaman. Juga tidak bisa membuka kamar satunya. So ... Seperti yang kamu lihat sendiri."
Dia ... Pria ini nggak melakukan apa pun kan? Kulayangkan padanya tatapan curiga. Dia terkekeh melihat ekspresiku. "I do nothing. Yet, sweetheart."
Kegelengkan kepalaku untuk menjernihkan otakku. Banyak benang kusut di dalamnya, lalu aku bergegas bangun dan menuju kamar mandi dalam setengah terpejam. Entah keberuntungn macam apa yang membuatku selamat hingga sampai di kamar mandi.
Begitu keluar dari sana, tercium aroma makanan yang menggugah selera. Jujur saja aku bukan termasuk 'morning person' dan tidak memiliki kebiasaan untuk mengisi jatah perutku sebelum jam 9 pagi.
"Saya sudah memesan makanan. Untuk hari ini, saya juga sudah ijin ke Pak Nur. Kamu juga sudah saya mintakan ijin."
"Kenapa?" tanyaku skeptis.
Brandt mengedikkan bahu tak peduli. "Ada banyak hal yang harus kita bahas. Dan itu akan menghabiskan waktu ... cukup lama."
"Menurutku tidak ada yang perlu kita bahas, Brandt. Kamu sudah menikah. Dengan Mila, kalau kamu belum lupa nama istri kamu sendiri. Sedangkan aku bekerja di sini, menikmati hidupku dalam damai; dan semoga seperti itu. Memangnya ada lagi?"
"Saya akan mengatakannya setelah kamu menceritakan kepada saya apa alasan kamu mau melakukannya."
"Dan aku juga ingin tahu alasan kamu mengejarku sampai ke sini. Kukira urusan kita sudah selesai pada saat itu juga. Selain itu, bagaimana kamu sadar bahwa wanita yang bersama kamu saat itu adalah aku, bukannya Mila Widjajanto."
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
SHADOW MARRIAGE (End)
Romance"Tuhan, aku mengaku salah, tapi tolong dosanya ditagihkan ke Joleen saja, please...." Ketika acara akhir pekan yang kupikir bakal menyenangkan, ternyata harus menjadi hal yang akan paling kuingat seumur hidup, rasanya pengen banget aku menghilang aj...