Bab 44

21.1K 1K 36
                                    

Sudah seminggu kami kembali ke Balikpapan. Tak ada yang berubah dalam keseharian yang Shane dan Sean jalani. Aku melakukan hal yang biasa kulakukan. Membangunkan mereka, mengantar ke sekolah sekaligus daycare. Aku sendiri bukan tak mungkin merawat mereka. Hanya saja, supaya mereka terbiasa mandiri sejak awal.

Kecuali ada seseorang yang ingin bermain-main dengan keluarga kecilku. Entah apa yang sydah kuperbuat hingga seperti ini. Sejauh yang juingat, aku sudah membayar supplier dengan tepat waktu. Kalaupun belum, pasti mereka akan menghubungi kantor dan mengkonfirmasi pelunasan.

Beberapa hari yang lalu, ada telepon yang masuk ke kantorku. Begitu aku mengangkatnya tak ada sahutan dari seberang. Kemudian aku meminta salah satu pegawaiku menerimanya. Namun,brak ada

"Mbak Anne, udah jamnya jemput si kembar." Sitha mengingatkanku bahwa sekarang sudah sore.

Mataku masih terpaku di depan layar komputer, sibuk memasukkan data-data penjualan toko milikku. Bukan toko besar, setidaknya dengan begini, aku masih mampu menopang kehidupan kami bertiga. Berempat, jika ditambah asisten rumah tangga yang kupekerjakan.

"Oh, kamu mau pulang sekarang, Sit?" tanyaku tanpa beranjak dari kursi.

Sita sudah berkemas dan memakai kembali sneakers-nya. Peraturan di kantorku tidaklah terlalu mengikat. Santai, asal pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka selesai dengan baik.

Gadis itu tersenyum dari balik pintu dan melambaikan tangan. "Iya, Mbak. Sampai besok!"

Aku juga harus bergegas jika tidak ingin dikatain anak sendiri, bahwa aku bukan ibu yang becus. Sean terkadang bermulut tajam. Ya ampun, meniru siapa sih anak itu?

Semua sudah kuserahkan kepada penyelia toko. Jika saatnya kantor tutup, ada orang yang kupercayakan untuk mengurus penjualan. Aku tidak selalu stay di sini hingga malam. Ada bawahanku yang mampu meng-handle di atas jam kerja kantor.

Kulajukan mobilku ke arah day are tempat si kembar menghabiskan siang hari. Tak sedikit balita yang berada di sana. Kebanyakan orang tua yang cukup sibuk dengan pekerjaan kantor, ataupun untuk mencari tambahan penghasilan, sehingga tidak memungkinkan untuk menjaga anak-anak di rumah.

Jalanan tidak terlalu ramai, biasanya di tengah minggu atau menjelang akhir pekan akan padat merayap. Namun sepertinya mobilku tak ingin bersahabat denganku hari ini. Beberapa meter lagi akan ada lampu merah, belok kiri dan lurus hingga di pertigaan berikutnya, akan ada gedung kecil dengan lukisan bunga. Di sanalah aku akan bertemu dengan anak-anakku.

Sial bagiku.

Mobil yang kukemudikan ini harusnya mampu mengerem di kecepatan rendah dengan baik. Namun tak ada reaksi apa pun di sela kakiku. Harusnya tak ada masalah, karena mobil ini hanya kendaraan sederhana, yang jarang sekali untuk bepergian jarak jauh. Bahkan untuk kegiatan ekstrim sekalipun. Tapi mengapa ...

***

Sekilas yang nampak di hadapanku hanyalah sekelebatan potongan memori yang jauh terkubur dan hampir terlupakan. Momen ketika aku pertama kalinya benar-benar melihat wajah Brandt dengan jelas. Bentuk hidung, warna rambut, juga senyumnya mirip dengan Shane.

Atau sekilas wajah Sean, tapi dalam versi yang lebih dewasa. Postur dan panjang rambutnya benar-benar Brandt. Senyum manis Mama.

Namun, semua mengabur dengan cepat. Tanpa memberiku jeda untuk mengingat.

Dunia yang sunyi, seolah tak ada suara sekecil apa pun. Aku tak bisa menggerakkan kaki ataupun tanganku. Bahkan jari dan suaraku tak mau mengeluarkan dayanya.

I felt like I'm ... done.

[]

Honestly, gw agak lupa setting2 ini cerita. Maafkan kalo amburadul.

SHADOW MARRIAGE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang