Bab 43

19.2K 1.1K 19
                                    

Dering ponsel dengan suara Anastacia membangunkanku dari lelapnya mimpi. Meskipun tentu saja aku enggan membuka mata, saat aku baru saja tertidur setelah apa yang kami lakukan semalam. Bukan berarti aku akan mengeluh, tapi demi Tuhan... Brandt—seolah dia tak pernah melakukannya dengan wanita lain!

Ponselku kembali berteriak, memaksaku untuk bangkit dan mengambilnya. Kusingkirkan lengan Brandt yang membelit perutku. Kuamati wajahnya yang masih tetap menawan di usia pertengahan tiga puluhan. Cambang halus menumbuhi dagu dan rahangnya yang tegas. Bulu matanya yang panjang mengingatkan soal prioritas yang saat ini menungguku.

"Minggir!" Kusingkirkan lengan Brandt yang membelit pinggangku. Dia hanya menggumam kesal karena tidurnya terganggu.

"Mami!" Kujauhkan ponsel dari telingaku begitu mendengar lengkingan suara mungil milik Shane. Dia berceloteh tanpa bisa kupikirkan apa yang sedang dia bicarakan. Aku hanya mengiyakan saja, apa pun yang gadis itu katakan.

Matahari sudah cukup terik. Kusingkapkan selimut dan berjalan ke kamar mandi. Memiliki balita aktif membuatku ikut terbiasa bangun untuk menyiapkan segalanya sejak pagi. Dulu, mana mau aku bangun bahkan sebelum alarm jam tujuh berteriak.

Guyuran air dingin membantuku berpikiran jernih, dengan sengaja aku berlama-lama di bawah cucuran air. Namun jantungku hampir mencelos saat sebuah lengan menyergap tubuh telajanhku dari arah belakang.

"What you're doin', asshole?!"

***

Aku membisu sepanjang perjalanan ke rumah papa. Brandt masih saja tertawa sambil meminta maaf padaku. Mengesalkan sekali pria ini. Masih beruntung aku tidak menghantam kepalanya dengan sebotol sabun mandi. Atau seburuk-buruknya perkiraanku, kami terpeleset di kamar mandi pria itu.

"Kamu beruntung masih bisa membuka mulutmu, berandal!" desisku marah.

Tiba2 telapak tangannya yang besar mengusap perutku. Membuat desir2 aneh yang segera menjalar ke bagian tubuhku yang lain. "Sshh... Jangan emosi seperti itu. Tidak baik untuk janin kita."

"Apa kamu bilang?!" sentakku terkejut.

Kusingkirkan tangannya yang mengelus kausku. Wajahku menatap matanya dengan gusar, apa yang sedang dia bicarakan. Bibirnya meracau tak jelas di pagi hari dalam keadaan jalanan penuh dengan kendaraan, dan hawa panas mulai menyengat.

Brandt berhenti tertawa. Tatapan tajam dan serius mengarahnpadaku di balik kacamata aviatornya.

"Maksudku adalah ada kemungkinan kamu hamil lagi, sayang. Dan aku tidak ingin anak kita mendengar umpatan2 ibunya. Kamu mengerti, kan?"

"Apa kamu sengaja melakukannya, Brandt?" cecarku yang dibalas dengan cengiran di sudut bibirnya.

Netranya kembali menuju jalanan, bahunya bergerak tanpa peduli. Rahangnya yang kokoh mengatup tegas. "Tergantung dari sudut mana kamu melihatnya. Yang jelas aku nggak ada niat untuk melepaskan kamu setelah apa yang terjadi."

"Kamu gila," tuduhku. Apa dia sengaja melakukannya padaku? Benar-benar berengsek!

"Ya, memang," akunya dengan mudah. Kemudian dia menambahkan, "Tapi itu jika menyangkut dirimu. Aku akan melakukan apa saja yang bisa agar tetap membuat kalian dekat denganku. Bahkan dengan cara kotor sekalipun!"

Sisa perjalanan aku dan Brandt habiskan dalam diam. Tak ada satupun dari kami yang membuka bibir. Hingga aku dan Brandt tiba di tempat aku menitipkan anak-anakku.

"Mami!" teriak si cantik Shane dari balik jendela rumah ayahku. "We miss you."

"Kalian udah siap pulang, sayang?"

"Maaf, Pa. Jagain mereka seharian pasti bikin capek, ya."

"Nggak papa, Anne. Sering2 aja. Papa masih kuat kok. Lusa Papa ke tempat Mama."

"Ayo, kita bereskan dan ketemu kakak."

"Granpap ikut juga kan?" tanya si tampan dengan suara cadelnya. Wajahnya mengerut sedih. Mungkin dia habis bersenang-senang bersama kakeknya selama di sini.

Aku menggeleng. "Tidak." Seketika raut pilu karena akan berpisah dengan pria tua itu membuat Shane hendak menangis. Aku berusaha menghiburnya dengan janji. "Lain kali kita bisa main ke sini lagi kok."

"Kalau begitu aku pulang." Brandt berpamitan. Kacamata hitam sudah tersampir dengan kokoh di atas hidungnya yang mancung. "Aku akan menyusul kalian setelah urusanku di sini selesai."

"Mimpi saja."

"Jangan terlalu merindukanku, sayang," kekeh Brandt samhil berjalan keluar dari rumah. Sekilas dia mencium Shane dan Sean, menggumamkan janji manis yang mungkin tak akan segera dia tepati.

"Ngarep banget kamu!"

[]

Happy reading 😘😘

SHADOW MARRIAGE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang