"Tandatangani ini." Brandt menggeser beberapa lembar kertas ke hadapanku. Aku memandang kosong ke arah yang ditunjuk Brandt tanpa bisa berpikir. Jari2 gelap Brandt mengetuk di atas kertas. "Sebelah sini."
Suara berat Brandt menyadarkanku bahwa aku termenung cukup lama untuk tahu bahwa kami sudah sampai di sebuah ruangan asing. Terlalu banyak hal yang kupikirkan dan tahu2 saja aku sudah berada di sini.
Kupandangi sekelilingku, kami sedang di sebuah ruangan yang mirip dengan kantor lama Brandt, tapi penuh dengan buku2 tebal di sepanjang dinding kanan dan kiri. Di belakang meja besar, seorang pria yang terlihat lebih tua dari Brandt, tapi tak setua ayahku duduk sambil menatapku lekat. Matanya penuh pertimbangan di balik kacamata tebal berbentuk elips.
Sebelum aku sempat bertanya tentang apa yang kami lakukan, Brandt menyodorkan pena ke arahku. Sedangkan pria di hadapan kami duduk dengan raut wajah tak bisa kubaca. Dia memandang ke arahku dengan tatapan menilai yanga aneh. Mungkin dia berpikir bahwa Brandt sedang membawa partner bisnisnya.
"Oke, sudah selesai." Pria yang sedang duduk itu berdehem. Aku duduk di sebelah Brandt dengan punggung tegak, mengantisipasi sesuatu yang mungkin tak akan terlalu menyenangkan untukku.
Aku menyelipkan pertanyaan selagi kedua pria itu membereskan berkas2 di meja. "Anu... Kita... Aku tadi... Apa yang kutandatangani?"
Aku melayangkan tatapan bertanya pada Brandt, yang dibalasnya dengan raut tak percaya. Dia hendak mengatakan sesuatu, namun pria yang lebih tua di seberang kami berdehem melerai. Meredakan aroma konfrontasi yang menyeruak di ruangan kecil ini.
"Pak, sudah beres. Surat2nya sudah lengkap. Jika mau, kita bisa mengurus sisanya seperti rencana Anda."
"Jangan bilang... Ini..."
"Ya, aku audah mengubah surat pernikahan kita, pengalihan hak waris, semuanya."
"A-a-pa?"
"Kamu nggak perlu khawatir tentang tanggung jawabku sebagai orangtua. Aku sudah membereskan semuanya. Kamu hanya perlu mengurus bagian kamu di sana, dan segera kembali ke sini. Lalu—"
"Tunggu!" selaku, "apa maksudmu?"
"Bukankah sudah jelas? Aku ingin kamu kembali ke rumah, memberi anak-anak kita keluarga yang lengkap dan membangun rumah tangga. Tentunya sebagai istri, kamu paham tentang konsep itu, bukan?"
"Aku sama sekali nggak ngerti, Brandt. Kamu bukan suamiku. Sekali lagi, ya. Kita nggak ada hubungan semacam itu. Kita hanya terjebak dalam situasi yang nggak menguntungkan dari sebuah ketidaksengajaan. Juga—"
"Sudah, Arianna!" potongnya. "Cukup." Tangannya menarikku kembali ke arah mobil yang dia parkir di lantai bawah gedung ini. "Kamu nggak perlu membantah apa yang sudah ada di sini." Brandt meraih kedua telapak tanganku dan menarik ke arah dadanya.
Wajahnya berpaling ke arah lain sejenak sebelum kembali menatapku tajam. "Kamu cukup bawa anak2 kembali ke rumahku. Bereskan urusanmu di sana. Atau kalau kamu mau, aku akan mengirim seseorang yang bisa menggantikan jika kamu tidak mau melepas kantormu."
Brandt berbicara dalam satu tarikan napas, yang menurutku itu agak aneh (dan keren). Karena selama bersama dengannya, tak pernah aku tahu jika dia bisa berbicara panjang lebar seperti itu. Sebagian besar dia akan berbicara seperlunya, terkadang dengan suara lirih, atau jika dalam suasana hati yang buruk, dia akan menutup mulutnya sejenak, lalu bersuara dengan nada memerintah yang absolut.
Aku memandangnya takjub, tapi tak mengatakan apa pun. Kami berkendara dalam diam. Suasana dalam mobil Brandt memang nyaman, kuakui benar2 mobil yang bisa kubayangkan nggak bakal kumiliki kecuali aku bekerja selama puluhan tahun. Entah aku bisa dibilang beruntung atau malah sial bisa bertemu dengan pria yang memiliki segalanya.
Dulu aku berpikir, aku menginginkan kehidupan sederhana, tinggal di sebuah rumah di pinggir kota dengan suami dan anak2. Keluarga yang lengkap. Bukan seperti diriku yang dibesarkan oleh single parent. Mama memang sangat menyayangiku, tapi ada sosok yang kuinginkan. Yang bisa melindungiku, dan membantuku menemukan jalanku. Yang selalu ada saat aku bersedih.
***
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Lamunanku ikut terhenti ketika Brandt audah memarkirkan mobilnya di halaman rumah seseorang. Bangunan modern, nampak sederhana dari luar. Tapi sekali pandang aku bisa tahu, bahwa ei dalamnya pasti lebih luar biasa.
Kuembuskan napas perlahan, tatapanku beralih memandang ke arah rumah megah dengan desain simpel minimalis. Tanpa pagar depan ataupun pembatas lainnya, hanya ada beberapa pohon palem yang tak terlalu tinggi. menjadikannya tampak lapang dan cukup untuk menahan terik di siang yang menyengat.
Aku menggeleng, tanpa berniat menjawab pertanyaan Brandt. Kubuka pintu mobil dan melayangkan pandangan bertanya pada pria yang juga sudah bersisian denganku. "Ini rumahku. Rumah kita. Aku ingin mengajakmu ke sini sejak kita bertemu kembali. Tapi kau selalu saja menghilang."
"Kenapa?" Hanya itu satu2 nya hal yang terlibtas di kepalaku. Meskipun sebenatnya jauh lebih banyak hal yang tak bisa kukayakam.
Brandt menggamit tanganku dan mengajakku masuk. Senja mulai turun dan yang bisa kupikirkan adalah kenapa aku bisa sampai di sini. Tangan besafnya meraih pegangan pintu dan mempersilakan aku masuk lebih dulu. Lalu perlahan menutupnya.
"Ini kamar anak2." Dia menggenggam tanganku erat. Tangannya yang besar dan hangat mengalirkn enegi haru yang baru bagiku, terasa menggelitik di perutku. Hingga kmu tiba di depan sebuah pibtu besar ganda, di lantai teratas, yang terletak paling ujung. Brandt membukanya pwrlahan dan mendorongku masuk pwrlahan. "Dan ini kamar kita."
Aku tak mampu mengatakan apa pun. Bibirku kelu. Dan aku tak bisa memikirkan hal lain, kecuali, "Aku mau pulang."
"Menginaplah di sini. Malam ini," pintanya dengan sedikit nada memerintah. Sejak kapan tasku sudah tergolek tanpa daya di atas ranjang ukuran king size miliknya?
Aku menggeleng sambil melewatinya dan mengambil tasku kembali. "Tidak. Besok aku harus kembali."
"Aku akan ikut!" tandasnya. Pintu kamar sudah tertutup bahkan sebelum aku sempat sampai di sana.
Ditariknya lenganku dan mendekatkan tubuh kami adalah satu2nya yang mungkin bisa dia pikirkan untuk membujukku agar tetap di rumahnya.
"Gila kamu!" desisku tepat di depan wajahnya. Belitan lengannya yang kekar membuatku agak sulit melepaskan diri.
Brandt mendekatkan wajahnya ke telingaku. Napasnya memburu, mengeluarkan udara panas yang seketika membuat sekujur bulu kudukku tergelitik untuk merengkuhnya.
"Ya, selama itu menyangkut dirimu—" Tak dapat kudengar lagi suara yang keluar dari mulutnya, hingga ia melepaskan pagutan kami. Tatapan matanya menggelap seiring suhu tubuhnya yang meningkat. "Aku memang gila."
[]
Hai, semoga suka 😍
KAMU SEDANG MEMBACA
SHADOW MARRIAGE (End)
Romance"Tuhan, aku mengaku salah, tapi tolong dosanya ditagihkan ke Joleen saja, please...." Ketika acara akhir pekan yang kupikir bakal menyenangkan, ternyata harus menjadi hal yang akan paling kuingat seumur hidup, rasanya pengen banget aku menghilang aj...