"Jadi, seharusnya para manajer area tahu permasalahan di lapangan. Itu bukan hanya tanggung jawab supplier atau supervisor saja," ucapku padanya sambil mengunyah setumpuk sandwich berisi lembaran selada, irisan tomat, telur mata sapi, sedikit mayones, dan saus sambal.
Kukira pria itu akan memesan makanan ala barat yang untuk menyantapnya menggunakan pisau dan garpu, jika dilihat dari merek yang menempel di tubuhnya. Ternyata ekspektasiku agak melenceng. Hanya roti sederhana dan susu.
Aku nggak pernah menyukai susu putih hangat. Walaupun memiliki rasa manis, tapi mampu membuat lambungku bergolak. Jikapun harus meminumnya, aku lebih memilih rasa coklat yang dicampur dengan serutan es batu. Bahkan terkadang aku membeli sekotak besar susu cair instan.
Selagi aku menahan isi perutku naik, kami; aku dan Brandt membahas soal selling out item yang akan kami rilis. Sarapan hanya sebagai pengalihan sementara sebelum aku memikirkan apa yang akan kukatakan atau kulakukan dengan pendapatnya. Begitu juga dengannya.
Setelah selesai makan, aku membuat secangkir kopi untuk membuka mataku lebih lebar dan otakku bekerja lebih baik. Tanpanya, aku bakal mengantuk sebelum tengah hari, bahkan aku nggak bakal bisa berpikir dengan baik. Kuseduh dalam cangkir putih yang tersimpan di lemari atas. Membiarkan uapnya mengepul sebentar, lalu mencicipinya.
Hm... Sedikit gula mungkin akan lebih enak. Aku ingat selalu membawa ke mana2 kopi dan gula, entah instan atau kopi bubuk biasa. Aku agak ketagihan dengan rasa pahitnya. Aku juga menawarkan secangkir padanya, tapi pria itu menolak.
Brandt memberitahuku bahwa dia tidak terlalu suka kopi. Dia malah memintaku membuatkan secangkir teh dengan dua sendok makan perasan lemon. Kubilang padanya bahwa aku belum sempat mengisi kulkas. Karena begitu sampai di sini, aku belum sempat pergi ke mana pun.
Brandt berdecak dan menggelengkan kepala. Aku tidak tahu apa dia kesal dengan ide bahwa aku langsung bekerja setelah mutasi ke sini atau dengan gaya hidup yang kujalani. Aku tidak peduli juga, meski pada akhirnya dia menghela napas dan meminta secangkir kopi dengan gula dua sendok.
Pria itu kembali memakai kruk yang tadi sempat tak kulihat. Kupikir kakinya sudsh lebih baik daripada semalam saat dia terlihat tak nyaman. Aku ingin bertanya, tapi kuurungkan, takut dia akan tersinggung.
Pria itu membawa ransel dan jaketnya ke arah kamarku. Dia benar2 akan tinggal di sini? Aku belum sempat bertanya lagi sampai kapan dia akan berada di apartemenku. Lagaknya mirip seperti pemilik saja. Aku sebal sekali caranya menyuruhku. Meskipun secara teknis sih dia memang bosku. Bos bosnya bosku, seperti itu.
Brandt keluar dari kamar mandi hanya memakai boxer tidur dan bertelanjang dada. Bukannya tadi dia memakai kaus putih yang menempel pas di tubuhnya? Itu juga luput dari pengamatanku.
Sial, sejak kapan aku memperdulikan penampilan seseorang dengan baik. Pikiranku mulai teralihkan.
"Kamu mau pulang hari ini?" tanyaku bodoh. Aku penasaran saja, dengan ragu kulontarkan pertanyaan itu. Semakin cepat aku tahu jawabannya, semakin lega aku mendengarnya. Jantungku mulai berdebar setiap kali aku berdekatan dengannya.
He isn't yours, Arianna, peringatku pada diriku sendiri.
"Apa?" Sepertinya dia terkejut dengan pertanyaanku yang tiba2. "Kamu bilang apa?
Kutelan ludahku dan kutatap wajahnya yang sudah tumbuh cambang tipis. "Aku tanya, apa kamu bakal kembali ke Jakarta hari ini? Atau kalau enggak, kapan?"
"Kenapa? Kamu masih ingin saya pergi dari sini?" sergahnya. "Jangan khawatir..."
Dia melanjutkan ke arah kamar mandi. Handuk putih besar tersampir di bahuanya yang terbuka. Bekas luka di punggungnya juga terlihat jelas. Kali ini Brandt tidak memakai kruk, membuatnya berjalan agak tersaruk dan tertatih. Perlahan sambil menempelkan tangannya di dinding.
Dia bilang jangan khawatir. Maksudnya apanya yang perlu dikhawatirkan? Justru mengkhawatirkan kalau dia pulang sendiri. Aku harus memastikannya dia segera keluar dari apartemenku. Atau lain kali aku bisa mencari tempat lain, yang memiliki keamanan lebih baik. Tapi itu akan memakan waktu dan biaya.
Aku memainkan tabletku saat Brandt keluar dari kamar mandi dalam balutan kaus hitam polos dengan tulisan salah satu merk pakaian. Dan juga celana pendek chinos berwarna khaki. Aroma kuat yang menguar dari saat terbukanya pintu menyebar ke area dapur mungilku.
Menohok indra penciumanku hingga aku ingin memeluknya. Oh, sadarkan dirimu, Arianna, jangan ulangi kesalahan yang pernah Louise lakukan! Ibuku agak mudah jatuh cinta. Itu yang membuatnya rentan terhadap pesona pria asing seperti ayahku. Aku juga tidak bisa menyalahkannya jika di masa lalu ibu menjalani aturan hidup yang sangat ketat dari keluarganya.
Tapi aku bertekad untuk tidak mengikuti jejak ibu. Berusaha menjaga jarak dengan para pria, namun bukan berarti aku tidak terpesona oleh mereka. Tapi kenyataan bahwa ibuku bisa seperti sekarang, membuatku berusaha membangun tembok pembatas. Terkadang jika aku mau, aku akan menjalin hubungan dengan mereka. Hanya saja hubungan itu tak pernah lama.
Brandt berjalan kembali ke arah dapur dengan handuk masih tersampir di lehernya yang jenjang duduk di hadapanku. Matanya menatapku. Aku tahu meski tak melihatnya secara langsung. Aku bisa merasakan jika tatapan intens itu masih terus tertuju ke arahku.
Namun, seolah2 ada hal lain yang tersirat di sana...
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
SHADOW MARRIAGE (End)
Romance"Tuhan, aku mengaku salah, tapi tolong dosanya ditagihkan ke Joleen saja, please...." Ketika acara akhir pekan yang kupikir bakal menyenangkan, ternyata harus menjadi hal yang akan paling kuingat seumur hidup, rasanya pengen banget aku menghilang aj...