Keping 1: Pilihan Hati

183 20 0
                                    

Aku mengira hal yang paling sulit di dunia ini adalah mengungkapkan perasaan kepada orang yang menjadi alasan perasaan itu ada. Kini aku mengetahui hal lain, mengakui perkara yang dapat melukai orang lain sama sulitnya. Terlebih orang itu adalah dia yang aku akan selalu menemukan alasan untuk menyukainya.

-----------

Riana

---------

541

(5 tahun kemudian)

Awan kelabu itu akhirnya menumpahkan massanya. Kesibukan seketika tercipta. Orang-orang berlarian dari pinggir jalan, mencari tempat berteduh. Hanya butuh belasan detik, emperan toko ramai bukan oleh pembeli. Sementara itu, mereka yang penuh persiapan hanya tinggal membentangkan payung, terus berjalan tanpa khawatir akan basah kuyup.

Berbeda dengan kebanyakan orang, seorang gadis remaja menyambut hujan bagai menyalami kawan lama. Dia tersenyum. Wajahnya ditengadahkan. Matanya terpejam saat rintik-rintik air menimpa wajahnya. Beberapa lama. Dia menundukkan wajahnya. Kedua telapak tangannya diangkat, menadah hujan. Senyum masih melengkung di bibirnya. Lalu, dia mulai berputar-putar, menari di bawah guyuran hujan. Tak pelak lagi, gadis itu sedang jatuh cinta. Semoga hujan menyuburkan cintanya.

Di sebuah kafetaria, berseberangan dengan tempat gadis itu menari, aku duduk memerhatikan. Secangkir coklat panas terhidang di depanku. Asap tipis mengepul dari suspensi itu, setipis keberanian yang kumiliki saat ini. Di hadapanku, dia mengaduk-aduk jus alpukatnya tanpa selera. Aku tahu, dia masih menatap ke arahku. Hujan sama sekali tidak mampu membeli perhatiannya.

Lima menit berlalu lagi. Total sudah satu jam lebih aku tak menyampaikan apa pun, kecuali basa-basi tidak penting. Sejak kilat menyambar, disusul petir dengan bunyi menggelegar, kami sama-sama diam. Seporsi mie goreng sea food dan segelas es jeruk sudah kuhabiskan. Kukira dengan pasokan energi baru, keberanianku turut bertambah. Ternyata, setengah jam berlalu sejak aku menghabiskan makanan, aku masih belum mampu membuat suara. Kata-kata yang kukumpulkan hanya menyangkut di tenggorokan.

Orang-orang yang datang setelah kami, sudah lama meninggalkan kafetaria. Tiga orang yang terpisah dua meja dari kami menambah daftar itu. Kupastikan, kami masih akan bertahan sepuluh atau dua puluh menit lagi. Dia masih menungguku bicara. Aku masih berjuang menebalkan keberanianku sembari menatap rintik-rintik air yang sedikit membiaskan pandangan.
Lima menit lewat lagi tanpa percakapan.

“Aku akan menunggu sampai hujan berhenti. Sampai matahari bersinar lagi. Sampai hujan lagi. Sampai kapan pun kamu siap berbicara.”

Ucapannya berhasil menarik pandanganku. Aku menghela napas pelan. Semalam suntuk, aku sudah merangkai kata, menyiapkan kalimat-kalimat terbaik yang harus kusampaikan saat ini. Aku bahkan beberapa kali mematut diri di depan cermin sambil mengatakan kalimat-kalimat itu, berlatih. Sayangnya, kalimat-kalimat yang telah rapi membentuk paragraf itu tak berarti di hadapan keberanian yang malah mengabur.

***

“Duduk, Bu!” aku bangkit. Kuberikan tempatku pada seorang ibu muda yang menggendong balita. Aku bergerak mendekati pintu. Tepat saat punggungku bersandar ke sekat di ujung bangku, seorang pria yang sangat kukenali melangkah masuk. Dia berdiri tepat di seberangku, dan kukira saat itulah dia menyadari keberadaanku.

Tatapan kami bertemu. Jika boleh kunilai, ekspresinya langsung berubah. Ada aura kebahagiaan yang membuat wajah lusuhnya terlihat lebih segar. Dia melebarkan bibirnya, memperlihatkan senyum yang didominasi canggung.

“Lama tak bertemu, Set,” seperti janjiku ketika kami berpisah di bandara, aku menyapanya lebih dulu.

“Ya, sangat lama.” Setya menggut-manggut. “Kamu apa kabar?”

Tomorrow Isn't A PromiseWhere stories live. Discover now