Keping 25: Dermawan Salah Sasaran

119 7 0
                                    

Ada sebuah janji yang dibisikkan oleh semesta pada sebuah pertemuan, yaitu perpisahan. Bagai telah menjadi hukum tak tertulis, perpisahan selalu menjadi bagian akhir dari sebuah pertemuan, paling tidak penengah. Ironisnya, pertemuan yang disambut dengan suka cita, kerap kali mengutuk perpisahan yang tak pelak akan membawa kesedihan. Maka, tidak heran, orang-orang bersemangat menggaungkan ‘aku benci perpisahan!’. Namun, sekali lagi, perpisahan telah menjadi suatu hukum yang harus dipatuhi.

Aku berhenti memikirkan daftar panjang dari akibat buruk sebuah perpisahan. Tidak ada gunanya kupetakan daftar itu di depan jidatku sekalipun, aku tidak akan terhindar dari pengaruhnya. Satu hal yang patut kulakukan adalah menjalani hari-hariku seperti biasa. Masa bodo dengan perpisahan itu. Aku tidak boleh menyibukkan diri memikirkan soalnya, apalagi repot-repot mempersiapkan diri—membuat semacam pesta perpisahan misalnya. Biarlah. Biar semua berjalan sebagaimana yang diinginkan takdir.

Setya juga berpikiran sama. Kami tidak pernah membahas sisa harinya tinggal di kota ini setelah dia memberitahukan jadwal kepulangannya. Lebih seru memanfaatkan hari yang tinggal sedikit dengan obrolan-obrolan yang tidak meninggalkan kesan sedih. Rasanya, semua berjalan normal meski aku yakin akan butuh waktu untuk membuat hari-hari di depan menjadi senormal saat ini.

“Ri, kamu belum menjawab pertanyaanku?”

Menyudahi lamunanku, aku menoleh Setya yang dibuat diam entah berapa puluh detik sejak aku berhenti bicara. Aku berpikir sejenak, mengingat pertanyaannya yang membuatku terdiam.

“Itu pertanyaan tidak bermutu, Set,” putusku cepat.

Setya tergelak. Kami sedang berada di restoran, menghabiskan makan malam sambil mengobrol. Dia baru saja diwisuda beberapa hari yang lalu, menawariku makan malam gratis sebagai perayaan kecil. Aku langsung setuju karena hari ini tak ada banyak tugas yang harus kukerjakan.

 Dia baru saja menanyakan asal anjing yang mengejarku sampai belakang apartemen kemarin sore. Dari semua hewan di muka bumi ini, kupikir anjing satu-satunya hewan peliharaan yang kutakuti. Aku bisa berlari sangat cepat jika ada anjing yang mengejar, tidak peduli petuah orang bahwa saat ada anjing yang mengejar seharusnya diam alih-alih berlari. Kupikir itu cara menyelamatkan diri paling bodoh. Mana mungkin aku membiarkan hewan yang kutakuti maju lebih dekat? Kecuali aku pasrah menjadi sasaran jilatannya, atau taringnya, atau cakarnya ... euww!

Untunglah Setya mengalihkan perhatian anjing itu dengan melempar sepotong daging yang baru saja dia beli, beberapa detik sebelum aku kehabisan napas. Kemarin dia sangat khawatir melihatku ngos-ngosan sampai tak sengaja mengucapkan kalimat yang membuat pikiranku menguraikan lamunan tadi. Kalau aku tak ada, kamu harus lebih cerdas menghadapi seekor anjing, Ri, begitulah kalimatnya kemarin—diucapkan dengan penuh perhatian. Sekarang, lihatlah dia terbahak menertawaiku.

“Itu tidak lucu, Set!” gerutuku. “Nyawaku terancam dan kamu sibuk sekali tertawa.”

Tawa Setya justru mengeras. “Kamu hanya dikejar anjing. Bukan diburu harimau. Ayolah, Ri!”

Menolak fokus pada persoalan kejar-mengejar dengan anjing, aku tertarik dengan kata terakhirnya. Seingatku, dia satu-satunya orang yang tega memotong namaku menjadi sependek itu. Dari tiga suku kata, dia memanggilku hanya satu suku kata! Tapi, bukan masalah serius. Paling tidak, nama itu tidak terdengar laki-laki.

“Kau tahu, Set, kemarin aku mendapat surat misterius lagi,” aku mengganti topik yang tidak berpotensi menjadikanku bahan tertawaan.

“O, ya?” Setya mengonfirmasi di sela-sela makannya.

“Emhm.” Aku mengangguk. “Kali ini dengan sekaleng sarden. Setelah berbulan-bulan, orang baik itu kembali beraksi.”

Ya, baru beberapa bulan terakhir orang itu berhenti mengirim surat-surat dengan bermacam camilan. Kukira orang itu menyerah setelah aku menaruh satu kaleng kornet dengan surat tantangan. Dalam surat itu kuminta dia menemuiku secara pribadi jika dia memang nyata dan cukup berani. Surat itu tak dibalas, pun tak digubris.

Tomorrow Isn't A PromiseWhere stories live. Discover now