Keping 22: Candu

149 13 0
                                    

Aku mengalihkan perhatian dari proyektor. Aku merasa ada sepasang mata yang menumbukku. Benarlah, mataku menangkap seseorang bersandar di dinding, di sisi jendela. Orang itu menghilang dengan cepat. Ketika aku mencuri pandang untuk ke sekian kali, kulihat lagi tudung jaket yang menutupi kepalanya. Proporsi tubuhnya tidak asing. Mengabaikan dorongan untuk berlari keluar dan memastikan orang itu, aku menunggu hingga profesor di depan selesai memberikan kuliah.

See you nex week.”

Aku membereskan alat tulisku sambil sekali lagi melirik ke luar. Tidak ada siapa pun di sana. Aku mengangkat bahu sambil meraih satu buku yang sengaja mau kutenteng. Kusampirkan ransel di bahuku, lantas ikut mengantre menuju pintu. Tetap saja, begitu aku sampai di luar, kepalaku celingukan.

“Orang yang kamu cari ada di sini, Rian!”

Aku berbalik, tidak jadi menuduh telingaku ngaco. Panggilan itu hanya dia yang menggunakannya dan benar dia yang berdiri di hadapanku. Mengenakan jaket dengan tudung menutup kepalanya, dilapisi lagi dengan jaket kulit, serta jins panjang dan sepatu convers, Adam menarik perhatian beberapa orang yang keluar setelahku. Entah karena tampilannya, wajah pucatnya, atau rupanya yang asing.

“Bagaimana kamu bisa sampai di sini?”

“Adikku juga kuliah di sini, ingat?”

Bodoh sekali. Bagaimana mungkin aku sempat berpikir Adam sengaja datang untuk bertemu denganku? Wajahku terasa panas. Sebagai gerakan refleks, aku mengangkat buku yang kupegang menutupi sebagian wajahku.

“Lalu, kenapa kamu bisa ada di sini? Kamu menunggu sejak setengah jam yang lalu, ‘kan?” Setelah lama tidak melakukannya, senang rasanya bisa menyerang balik orang satu ini.

“Itu ...” Adam membelokkan wajahnya, menjelajah lorong yang ramai oleh orang-orang berlalu lalang sambil mengobrol. “Aku bosan menunggu Yasmin di perpustakaan. Dia lama sekali. Jadi, aku jalan-jalan dan menemukan kamu di kelas ini.”

Aku meneliti wajahnya dari samping. Diam-diam, senyum lolos dari bibirku. Untuk alasan apa pun dia berada di sini, aku senang melihatnya. Pikiran itu menciptakan gemuruh dalam dadaku yang kucoba redam dengan menghela napas.

“Mau melihat bagian lain tempat ini?”

Adam kembali menghadapku. “Aku sudah berkeliling. Bosan. Kamu masih ada kelas lagi atau ini yang terakhir?”

“Kenapa jika ini yang terakhir dan kenapa jika aku masih ada satu atau dua kelas lagi?” Tiba-tiba aku senang mengajukan banyak pertanyaan pada Adam—berasa sedang mengejeknya. Langkah yang bodoh. Menimbun senang hanya untuk menanggung sesak pada detik pertama aku mengingat perempuan cantik yang menjadi pacarnya sekarang, Catie.

“Jalan-jalan, yuk. Masa bodoh kamu masih ada kelas atau tidak. Mumpung aku ada di sini. Kapan lagi kamu jalan bareng orang keren?”

Senyum jahil yang ditampilkan Adam dengan cara tak masuk akal melelehkan sesuatu dalam diriku. Dia masih terlihat manis kendati tanpa rambut coklat keemasannya—memang tak berlebihan dia memiliki rasa percaya diri sebesar itu. Sadar telah menahan pandangan terlalu lama padanya, aku menunduk, mengecek sepatuku yang tidak bermasalah.

“Jangan diam saja, ayo pergi!” Adam merenggut ranselku, menariknya seperti yang biasa dia lakukan dulu.

“Eh, aku bisa jalan sendiri!” Aku dengan mudah menjauhkan tangan Adam dari ranselku, memutus tatapan aneh dari sekitar. “Adikmu bagaimana?”

Adam hendak menjawab, tapi didahului oleh bunyi musik yang berasal dari ponselnya. Lagu yang tidak asing. Aku membulatkan kedua mataku saat menyadari nada dering yang dia gunakan persis sama denganku. Tidak perlu sekaget itu seharusnya. Lagu itu dibawakan oleh band kesukaannya—tentu saja. Akulah yang perlu dipertanyakan alasannya memilih lagu itu. Celakanya, Adam sudah tahu. Aku yakin dia mendengar lagu itu waktu di Stasiun. Jangan biarkan Adam mempertanyakan itu, memohon entah kepada siapa.

Tomorrow Isn't A PromiseWhere stories live. Discover now