Keping 27: Your Mama

165 16 6
                                    

Sore hampir habis. Matahari bersiap turun melewati garis cakrawala. Langit bermandikan warna jingga. Dataran United Kingdom mulai terlihat. Pesawat menurunkan ketinggian. Kerlap-kerlip cahaya lampu yang mulai menyala di setiap sudut kota menjadikan London tampak meriah. Pesawat terbang lebih rendah, turun terus, hingga landing dengan mulus.

Aku berjalan perlahan dengan sebuah ransel besar tersampir di punggungku. Sesekali aku memerhatikan sekitar. Bandara Heathrow masih seramai terakhir kali aku mendatanginya, lima tahun lalu. Seperti baru kemarin, perasaan sedih dan senang yang mengiringi langkahku menuju area keberangkatan luar negeri kembali mengusik batinku. Sesaat saja. Tak kubiarkan rasa dari masa lalu itu mengganggu berlama-lama. Sebagai gantinya, aku memupuk hanya rasa senang.

“Jika Adam pernah mengaku, dia tidak pernah mencintaimu, aku pastikan dia berbohong, Ri,” begitulah Setya membuka obrolan tatkala dia meneleponku kemarin. “Kamu selalu ada di hatinya sebagai orang yang dia cintai.”

Aku selalu berharap demikian, malah dapat disebut, aku sering kali memaksa menilai situasi sehingga aku beranggapan demikian. Terlebih, setelah semua yang kudengar dari beberapa orang. Aku kian yakin anggapan yang di waktu yang sama kutolak mentah-mentah itu memang benar. Tapi, mendengar kejujuran itu, tetap mengejutkan bagiku.

“Ada yang dia katakan padaku sebelum aku kembali ke Indonesia. Sebelumnya, dia tahu aku memiliki perasaan untukmu, Ri. Jadi, dia menegaskan padaku kalau dia tidak akan mengusahakanmu. Dengan kata lain, dia melepaskanmu.”

Aku menyetop sebuah taksi. Setelah menyebutkan tujuanku, aku masuk lewat pintu belakang. Beberapa saat berikutnya, taksi melaju, memecah jalanan Kota London.

“Aku tidak punya masa depan. Kesempatan yang kumiliki untuk membahagiakan Riana mungkin tak sebanyak milikmu. Aku percaya, kamu adalah orang yang tepat. Kamu sempurna untuk Riana. Yang paling penting, kamu sehat. Kamu tidak akan menyusahkan, apalagi menjadi beban untuknya.” Begitulah katanya Adam meyakinkan Setya.

Lalu lintas cukup padat, tapi lancar. Sepanjang perjalanan yang singkat, sambil melamun, aku sibuk mengamati lampu-lampu kendaraan yang memeriahkan jalanan. Setibanya di hotel, aku langsung check in. Aku bergegas mandi. Kusambung langsung menunaikan maghrib. Setelahnya, aku membaringkan tubuh di kasur, meregangkan otot-ototku yang terasa pegal setelah berjam-jam duduk di pesawat.

“Setelah dinyatakan bebas kanker, dia tidak mengubah keputusannya bukan karena dia sudah tidak mencintaimu. Dia berusaha memegang janjinya padaku, tidak menghiraukan pendapatku yang tak pernah mempertimbangkan ucapannya sebagai sebuah janji. Dia mencintaimu, Ri. Selalu.”

***

“Bapak sebenarnya sudah senang sama Setya. Tapi, Bapak tidak akan memaksakan kehendakmu. Kamu sudah dewasa, tahu apa yang terbaik untukmu. Pesan Bapak hanya satu, siapa pun yang akan menjadi pasanganmu, pastikan dia melaksanakan yang lima waktu karena jika dia tidak bisa menegakkan kewajiban itu, Bapak tidak yakin akan sanggup membimbingmu.”

Aku mengangguk, seakan Bapak benar-benar tengah berbicara di depanku. Tentu saja. Adam tidak pernah melupakan kewajibannya sekalipun dia sedang sakit. Malah, dalam beberapa bulan sebelum aku pulang ke Indonesia, setiap dia menjalani pengobatannya, Al Quran selalu menemaninya.

Taksi yang kutumpangi berhenti. Aku melangkah turun setelah membayar sejumpah poundsterling. Kutatap bangunan dua lantai di hadapanku. Ada yang berubah. Lantai dua rumah ini tampaknya lebih besar. Mungkin ditambah dua kamar sebab Tante Dini dan Yasmin tinggal permanen di rumah ini. Kumulai langkahku dengan jantung berdegup kencang. Aku baru mengangkat tanganku, bersiap mengetuk ketika pintu mengayun terbuka.

“Riana?” Sesosok perempuan paruh baya muncul. Bibirnya melengkungkan senyum lepas menelitiku beberapa hela napas.

Assalamualaikum, Tante Dini.”

Tomorrow Isn't A PromiseWhere stories live. Discover now