Keping 3: Halo, Birmingham!

133 17 0
                                    

Birmingham, 2013

Halo, Birmingham!

Cinta itu gila. Kadang sampai mengendalikan. Pengaruh cinta dapat membutakan, tergantung ketegasan kita dalam mengurusnya. Semua orang ingin pengaruh cinta yang positif. Tapi, beberapa saja yang mampu mendapatkannya. Aku berusaha menekan kendali cinta meski tidak sepenuhnya dapat lepas dari pengaruhnya.

Adam, apakah kamu masih tinggal di London? Kamu tahu, aku akan tinggal di Birmingham tiga tahun ke depan. Kalau saja dia tahu, sejak dia pindah ke London, aku berjuang keras agar dapat melanjutkan kuliah ke Inggris. Percaya atau tidak, besarnya kesempatan untuk dapat bertemu dengannya memainkan kontribusi amat besar dalam menentukan pilihan itu. Malam saat aku tidak sengaja bertemu dengannya, sebenarnya aku sudah menerima keputusan itu, bahwa aku diterima di Universitas Birmingham.

Aku mengalihkan pandangan dari langit kota Birmingham, menyudahi kegiatan mengenang. Aku melanjutkan perjalananku menuju apartemen yang akan menjadi tempat tinggalku tiga tahun ke depan. Matahari bersinar cerah di atas kepalaku. Penghujung musim panas, udara masih cukup hangat.

Setelah berjalan satu menit lagi, aku dapat melihatnya. Bangunan apartemen setinggi delapan lantai berdiri gagah di depanku. Aku melangkahkan kaki memasukinya. Kamarku di lantai enam. Aku menyewa studio room. Di balik pintu terdapat sebuah pantry kecil, di seberangnya terdapat kamar mandi. Lebih ke dalam, terdapat tempat tidur model single bed dan meja belajar.
Aku mengunci pintu, menaruh koper, lalu mendekat ke jendela. Kubuka jendela lebar-lebar. Udara hangat merengkuh wajahku. Dari ketinggian ini, kota Birmingham tampak menawan. Tapi, bukan pucuk-pucuk gedung yang berkilauan ditimpa cahaya matahari yang menyita perhatianku. Bukan pohon-pohon di sepanjang jalan yang daunnya mulai menguning sebagian yang sedang kuperhatikan. Bukan itu. Aku menatap langit yang dilewati gumpalan awan-awan putih. Meskipun dia entah di mana, jika saat ini dia menatap langit, kupastikan dia melihat langit yang sama.

Dua ratus kilometer. Menurut peta, sejauh itulah jarak yang membentang antara Birmingham dan London. Menurut aplikasi peta daring, jarak tersebut dapat ditempuh kurang lebih selama satu jam setengah dengan kereta. Kukira, berdasarkan fakta-fakta itu, bukan hal mustahil untuk mencapai ke sana.

Hei, ini tidak hanya soal Adam, tetapi di sana pulalah salah satu klub sepak bola kesayanganku bermarkas, Arsenal. Aku hanya harus menunggu satu tahun untuk melihat jagoanku itu berlaga langsung di Stadion Emirates. Sungguh, itu akan menjadi salah satu pengalaman paling menyenangkan. Atau malah tidak lama lagi aku tergiur membeli tiket pertandingan Arsenal. Agaknya, tidak mustahil satu atau dua bulan lagi aku sudah duduk di stadion, selalu sulit menahan godaan untuk menonton pertandingan sepak bola langsung dengan ribuan orang yang beramai-ramai menyanyikan chant kebanggaan.

Aku tersenyum dalam hati. Aku bukan akan bersenang-senang atau berwisata. Aku bukan orang yang datang dengan uang melimpah ke negara ini. Aku adalah mahasiswa penerima beasiswa. Tujuan utamaku adalah menuntut ilmu. Soal lainnya, aku harus bijak menempatkannya di belakang prioritasku. Menonton bola dan kegiatan hiburan lainnya bukan tidak boleh. Aku harus bekerja lebih keras untuk mewujudkannya.

Mengalihkan perhatian dari awan-awan itu, aku lekas mengambil ponselku, menghubungi seseorang di rumah. Bapak yang mengangkatnya. Suaranya terdengar tegas saat mengucap salam, seperti biasa. Aku membalas salam Bapak dengan sumringah. Aku langsung mengabari bahwa aku sudah sampai di Birmingham. Bapak mengucap syukur mendengar kabar itu. Lewat saluran telepon, aku dapat mendengar Bapak memanggil Ibu. Namun, suara-suara yang muncul meyakinkanku yang datang tidak hanya Ibu, tetapi juga A Januar, A Fajar.

“Hati-hati di sana, Riana.”

“Jangan lupa sholat!”

“Awas, kamu harus selalu mengecek yang kamu makan. Jangan sampai memakan yang tidak halal!”

Tomorrow Isn't A PromiseWhere stories live. Discover now