Keping 26: Hari yang Panjang

154 12 5
                                    

Denting jarum jam yang terpasang di laboratorium ini terdengar jelas di telingaku. Bahkan bunyi tetesan fraksi ekstrak Aquilaria malaccensis yang tengah kupisahkan dengan kromatografi kolom gravitasi terdengar memantul-mantul, mengisi ruangan kosong ini. Tak ada saingan yang dapat meredam bunyi-bunyi pelan di sekitarku. Sepi, orang-orang yang biasa menciptakan keributan sudah meninggalkan laboratorium ini, tepatnya sudah meninggalkan kampus ini beberapa jam yang lalu. Hanya beberapa yang masih bertahan lantaran memiliki urursan yang belum selesai. Aku salah satu di antara orang-orang yang tinggal, tengah menyelesaikan salah satu tahapan penelitianku.

Ruangan di sekeliling sudah gelap. Sunyi, menandakan semakin sedikit orang yang tinggal. Sesekali aku menoleh ke arah jam dinding itu agar aku tetap tahu waktu. Ponselku sudah mati sejak sore tadi. Payahnya, aku melupakan charger sebagai benda penting yang mesti kumasukkan ke dalam ransel—padahal pekerjaan di laboratorium ini sudah terencana.

Vial kecil berukuran sepuluh mili itu sudah terisi sebagian. Aku menggantinya dengan vial baru. Tetes demi tetes fraksi mulai mengisi vial baru itu. Lamban. Jika tidak menghiraukan pemisahan yang tidak akan baik, aku ingin sekali membuka keran dengan lebih lebar. Sejujurnya, aku sudah sangat lelah dan ingin segera membaringkan tubuhku di atas kasur empuk. Namun, apa boleh buat, tahap ini tidak dapat ditunda. Aku harus menunggu paling tidak setengah jam lagi.

Samar-samar, telingaku menangkap bunyi musik. Itu lagu salah satu penyanyi perempuan yang tengah naik daun akhir-akhir ini. Terdengar sangat dekat, meyakinkanku beberapa orang yang tadi kulihat tengah bekerja di laboratorium sebelah masih bertahan. Baguslah, aku tidak sendirian karena harus kuakui sendirian di laboratorium pada larut malam seperti ini menyeramkan juga.

Rupanya, aku tak perlu menunggu sampai setengah jam. Lima belas menit pekerjaanku selesai. Kulanjutkan membersihkan alat-alat laboratorium ini sekitar lima belas menit. Aku menatap kembali alat-alat itu di tempat semula, menaruh fraksi yang kudapatkan di lemari es. Selesai sudah. Aku bergegas meninggalkan laboratorium.

Di tengah suasana sepi, bunyi langkah kakiku memantul di seluruh lorong. Terdengar seperti musik pengantar film horor. Bulu romaku menegak perlahan menegak menyadari kesunyian yang semakin pekat. Angin yang menampar-nampar tubuhku dengan suhu dingin mempertegas suasana. Aku menahan keinginan untuk tidak berlari kencang meski energiku masih mencukupi untuk melakukannya. Tidak. Aku lebih memilih untuk menekan ketakutan yang mengolok-olokku.

Langkahku terhenti tiba-tiba saat aku mendengar suara yang bukan berasal dari langkah kakiku. Aku memutar pandangan dan tak mendapati siapa pun di sepanjang lorong yang tengah kulewati. Hendak kulangkahkan kembali kakiku, suara itu terdengar lagi. Tidak salah lagi, aku tidak sedang berhalusinasi. Sugnguh ada seorang perempuan yang berteriak tertahan.

Aku menajamkan telinga. Kutunggu munculnya suara itu lagi, suara itu justru tak mau keluar. Tetapi, sekali mendengar suara itu, penasaran mendekapku erat. Kakiku bergerak mengikuti ketajaman telingaku menentukan arah dari suara yang sempat kudengar. Pelan-pelan, aku menyusuri lorong yang remang. Pandanganku tajam mengawasi sekitar.

Setelah berbelok, melewati belasan meter, aku menyetop langkah. Keributan kecil bertingkah di tengah kesunyian. Asal bunyi itu beberapa meter di belakangku. Aku berbalik, menuju sebuah pintu. Keributan itu menghilang. Tak peduli, aku sudah meyakini suara itu berasal dari ruangan di hadapanku. Pelan-pelan, aku mengumpulkan nyali sembari mendorong pintu. Tak kulepaskan gagang pintu sampai kakiku melangkah masuk. Adagan dalam film aksi yang suka kutonton membayang di depan mataku. Beruntung, hanya deretan bangku yang dapat kulihat berkat sumbangan cahaya dari luar.

Aku mundur, menutup kembali pintu ruangan itu rapat-rapat, tidak tertarik menelusuri lebih detail. Mungkin keributan itu disebabkan oleh kucing. Entahlah suara perempuan menjerit itu. Kuteruskan perjalananku yang sempat terganggu. Pulang. Aku tak punya waktu mengecek apa-apa lagi yang mengganggu pendengaranku—jika ada. Aku sudah lelah sekali.

Tomorrow Isn't A PromiseWhere stories live. Discover now