Keping 13:Tomorrow Isn't A Promise

169 24 0
                                    

"London? Wah itu keren sekali!" seruan itu diucapkan oleh Sarah, yang tengah mengobrol bersamaku sebelum Adam datang untuk pamitan.

Aku masih meproses ucapan Adam. London. Beda negara, beda benua. Belasan ribu kilometer jauhnya dari Indonesia. Itu berarti banyak hal. Jarak lebih sering tidak ramah. Aku tidak berharap jarak akan membunuh persahabatan kami—demi apa pun aku sangat tidak menginginkannya. Namun, aku tidak bisa memungkiri fakta bahwa jarak mungkin akan menyakiti persahabatan kami.

"Kapan kamu akan berangkat ke sana?" Aku berusaha menoleh Adam yang duduk tepat di sebelahku. Sesaat. Kuluruskan pandanganku. Anggrek putih dengan bercak merah muda yang slalu menarik perhatianku, tiba-tiba kehilangan daya pikatnya.

Adam menyedot jus melonnya sebelum menjawab, "Tiga hari lagi." Dia memiringkan wajahnya, bukan berusaha menatapku. Adam memerhatikan Burhan yang berkumpul dengan anak laki-laki lainnya, berebut bola sepak di tengah lapangan basket.

Ini hari terakhir sekolah di semester empat. Wali kelas baru saja membagikan rapor kami, hasil belajar satu semester terakhir. Sebagian besar siswa sudah berhamburan pulang. Sisanya, memilih untuk bertahan di sekolah, sekadar makan sambil mengobrol di kantin, berkumpul dengan teman-teman satu organisasi, bermain bola seperti yang sedang dilakukan Burhan dan yang lain, atau seperti yang sedang kulakukan: mengobrol di teras depan kelas.

Burhan menemukan Adam yang sedang menyaksikannya. Dia mengangguk pada Adam, mengajaknya bergabung. Adam menggeleng. Dia menunjuk aku dan sarah. Burhan mengangguk dan tersenyum dengan cara yang aneh. Sebagai balasan atas ketidakfokusannya, Burhan hanya bisa mengaduh ketika bola hasil tendangan salah satu teman mendarat apik di punggungnya.

"Sebentar lagi," aku bergumam. Aku bahkan merasa tiga hari itu tidak akan lebih dari hitungan menit saja bagiku. Adam akan sibuk mempersiapkan semua yang dibutuhkan untuk keberangkatannya. Aku mungkin bisa mencuri sedikit lagi waktunya, bercakap satu atau dua kalimat melalui media sosial. Kegiatan tidak penting itu menjadi sangat kudambakan. Aku berharap Adam sudi meluangkan waktunya membahas topik hangat seputar International Champions Cup yang akan segera dimulai—sepak bola selalu menjadi topik yang membuat percakapan kami panjang. Tetapi, aku khawatir percakapan panjang semacam itu akan kurindukan, menjadikan perpisahan ini semakin berat.

Aku mengupayakan perasaan yang tidak enak ini tidak mendapat sedikit pun bagian pada air mukaku. Aku juga tidak mau menyulitkan diri dengan menebalkan wajahku menggunakan kepura-puraan bahwa perpisahan ini tidak berarti apa-apa untukku.

Entah apa yang memberi Sarah ide. Dia tiba-tiba meletakkan telapak tangan kirinya di atas punggung tangan kananku, lalu meremasnnya erat. Aku sepintas meliriknya. Dia tersenyum tipis dan mengangguk halus padaku. Aku paham yang sedang dilakukannya. Kubalas genggaman tangannya, mencoba menunjukkan rasa terima kasihku secara tersirat.

"O, ya, aku belum mengucapkan selamat atas keberhasilanmu." Kali ini Adam mengarahkan pandangannya padaku. Dia menjulurkan tangannya.

Sarah lebih dulu bereaksi dengan melepaskan genggaman tangannya. Aku masih belum mengangkat tanganku sehingga Adam harus meyakinkanku dengan memberikan anggukan. Aku meraih tangannya untuk kujabat.

"Kamu payah, Rian!" Dia berujar sambil menggoyangkan tangan kami dua kali. Cukup untuk sebuah jabat tangan. "Aku sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menyalipmu, eh?"

"Aku merasa tidak ada apa-apanya dibanding kamu yang akan meneruskan ke London, Dam. Kamu akan menjadi sangat hebat." Aku mengangkat bahu. Tidak seperti biasanya, sanjungan itu mengalir tanpa keterpaksaan. Terasa sangat natural.

"Tidak, Rian. Kamu lebih hebat. Aku selalu mengagumi semangatmu. Aku tak pernah melihatmu mengeluh, walau aku tahu kamu memiliki banyak hal untuk dikeluhkan. Kamu benar-benar orang yang paling bersemangat. Berkat semangatmu pula, aku bisa menjadi saingan terberatmu selama dua tahun berturut-turut. Aku bersumpah, kamu lebih hebat dariku, Rian!"

Tomorrow Isn't A PromiseWhere stories live. Discover now