Keping 14: Tantangan Adam

145 20 0
                                    

Aku merindukannya. Sejak detik pertama dia menghilang dari pandanganku, rindu mulai menetes dalam relung kalbuku. Setiap detik berikutnya, tetesan itu terus bertambah. Tidak pernah berhenti. Dari hari ke hari. Mungkin sekarang, aku sudah memiliki samudera rindu.

Aku tidak pernah bangun di pagi hari, kecuali aku merindukan Adam. Aku sering memandang seisi kelas hanya demi menegaskan bahwa Adam nyata, aku pernah satu kelas dengannya. Aku tak jarang mengecek ponsel untuk menemukan pesan darinya yang putus setelah beberapa minggu pertama kepindahannya. Selanjutnya, Adam menghilang. Dia tak tidak ada dalam pandanganku, pun tak kutemukan di dunia maya. Tapi, aku selalu bisa memunculkannya. Di mana-mana. Ajaib.

***

Aku menunduk, menatap permukaan meja. Kain berwarna putih yang dilapisi pelastik, yang menutupi meja itu tampak sepuluh kali lebih mengagumkan. Aku bagai sedang melihat pelangi, melengkung di atas air terjun. Gemericik airnya menggema di telingaku, mengirim ketenteraman yang merambat ke seluruh tubuhku.

Entah apa yang terjadi dalam hatiku. Sejauh yang aku tahu, aku bahagia sekali. Setelah mencari dalam sepi dan ramai sekaligus, dalam nyata dan alam mimpi, akhirnya aku menemukan. Tepat duduk di hadapaku, seseorang yang menjadi penantian abadi (aku sama sekali tak berharap itu benar, tapi kenyataan memberi cukup bukti, bahkan hatiku lebih dari membenarkan). Kerinduan yang terus mendaki itu, sampailah di puncak. Indah. Luar biasa indah.

Tentu saja orang itu Adam. Kepada siapa lagi hatiku tertambat? Rasanya tidak ada. Sekalipun aku mengenal banyak orang yang lebih tampan dibandingkan Adam, dengan kemapanan yang juga lebih, serta intelektual tinggi, aku tak pernah tertarik. Aku gagal memantaskan diri untuk tertarik dengan orang-orang seperti itu. Sebenarnya, dalam pandanganku, aku juga tak pantas naksir Adam.Bagaimana mungkin aku jatuh cinta dengan anak campuran Indonesia-Inggris yang dijuluki si Bule Ganteng di sekolah?

Dia benar-benar yang tertampan dari semua siswa. Tinggi, Putih, berperawakan tegap dan berotot, serta memiliki mata yang bagus—iris berwarna hijau zambrut yang tajam setiap menatap.Namun, sungguh, bukan ketampanan Adam yang membuatku jatuh hati. Percaya atau tidak, justru sikap menyebalkannya, karena sikap itulah yang selalu membuatku merindukan Adam.

Saat teman-teman perempuan ramai membicarakan perihal siswa yang mereka taksir, kadang mengenang kebersamaanku dengan Adam, kadang mencari tahu seperti apa Adam sekarang. Apakah masih menyebalkan? Kala teman-teman perempuan berteriak histeris menyambut aksi band sekolah yang katanya memiliki vokalis yang tampan itu, aku justru sibuk mencari senyum Adam di wajah orang-orang di sekitar, di pohon-pohon, tembok, pagar, batu, rumput, dan aku tersenyum ketika menatap langit. Ada gambar Adam tersenyum di atas sana. Entah di mana keberadaan Adam yang sebenarnya, langit bagai menjadi cermin yang memantulkan wajahnya. Kamu berada di suatu daerah di belahan bumi ini. Aku juga. Kamu mungkin tidak sedang menatap langit. Tapi, kapan pun saat kamu menatapnya, sudah pasti kita menatap langit yang sama. Aku berujar pada diri sendiri waktu itu.

Malam ini, aku tak sengaja bertemu dengan Adam yang baru saja turun dari busway. Hampir copot jantungku mendapati Adam di hadapan, saking tak percaya. Untunglah, aku dapat mengatasi diri. Hanya sesaat aku bengong. Selanjutnya, aku segera membalas sapaan Adam. Tadinya, aku hendak naik busway, tapi Adam mengajakku makan. Adam bahkan terang-terangan mengatakan dirinya merindukanku. Amboi, bagaimana mungkin aku menolak ajakan Adam! Lagi pula, busway yang kutunggu belum datang.

"Kamu sedang apa di Jakarta?"

Eh? Lamunanku tercerai. Aku memperbaiki posisi dudukku. "Aku baru saja jalan-jalan dengan Sarah."

"Sarah?"

Aku mengangguk. Sarah yang kumaksud adalah Sarah teman sekelas aku dan Adam waktu kelas sebelas.

Tomorrow Isn't A PromiseWhere stories live. Discover now