Keping 8: Bukan Soal Logika

144 17 0
                                    

Kadang, soal rasa orang lain lebih mudah mengetahuinya daripada diri kita sendiri. Kenapa? Karena kita lebih sering mengagungkan gengsi, pada diri sendiri sekalipun. Enggan mengakui perkara yang sudah sangat jelas. Atau kita terlalu suka menyangkal. Terlalu suka memilih berpikir dengan cara rumit atas hal yang sebenarnya amat sederhana.

"Kamu terlihat murung," Sarah menegur, menarik kursi di sebelahku, lantas mendudukinya.

Aku meletakkan novel yang tengah kubaca, tidak begitu menyadari pengaruh novel itu hingga Sarah datang. Siapa sangka, kata-kata yang dituliskan oleh penulisnya seakan mencoba memberiku pemahaman, atau paling tidak gambaran mengenai sebuah rasa yang bertahta di hatiku.

"Kisahnya menyedihkan."

Sarah memungut novel itu, membaca judulnya baik-baik. Matanya memicing. "Romance? Seorang Riana Aprilia membaca novel romance?"

"Aku salah menuruti rekomendasimu?" Lipatan pastilah terbentuk di dahiku. Ini pengalaman pertamaku membaca novel bergenre roman. Sebenarnya, aku bisa menemukan banyak kisah romantos dari novel bergenre lainnya. Tapi, yang ini berbeda. Roman menjadi akar dari kisah yang begitu hebat. Batangnya dibagun dengan sebuah dongeng percintaan sehari-hari yang ternyata mampu menciptakan cabang yang meliuk-liuk sebagaimana peliknya konflik dalam kisah itu. Lantas, demi menyuguhkan sebuah akhir yang tidak terlupakan, kisah itu dibuat berbunga. Mekar dari segala penjuru. Berwarna merah muda. Persis pohon sakura saat bunganya sedang bermekaran.

Sarah tersenyum lebar. "Aku tidak menyangka kamu akan langsung meminjam novel bergenre romance di perpustakaan. Kukira kamu benar-benar tidak peduli tentang cinta. Hanya sibuk mengurusi mimpi-mimpi gilamu, sepak bola, dan bacaan yang bukan tentang cinta. Kamu sama sekali tidak suka membicarakan cinta. Kamu bahkan pernah menceramahiku habis-habisan soal itu."

Aku terdiam. Ingatanku bermigrasi menuju waktu beberapa bulan lalu. Itu adalah saat Sarah dilanda cinta untuk kesekian kali. Tidak ada hari tanpa Sarah membicarakan laki-laki yang disukainya. Di hari libur pun, Sarah sibuk mengirim pesan padaku hanya untuk membahas perasaan sukanya. Aku sampai bosan mendengar dan membaca ocehan Sarah. Apalagi, Sarah memang suka berlebihan.

"Apa susahnya berhenti membicarakan perasaanmu, Sar?" protesku waktu itu, merasa kegiatannya mengerjakan PR matematika terganggu oleh Sarah yang tak henti berbicara soal betapa tampannya laki-laki yang ia sukai, hebat betul bermain basket, idola perempuan-perempuan di sekolah, dan sungguh bahagia saat laki-laki itu tak sengaja melirik Sarah yang lewat depan sekolahnya.

Sarah nyengir, memperlihatkan gigi-giginya yang tersusun rapi. "Dia benar-benar melihat ke arahku, Riana! Kau bisa bayangkan rasanya?"

Aku menepuk kening. Itu entah yang ke berapa kali Sarah mengatakannya—aku sampai lupa jumlahnya saking sering Sarah mengatakannya. "Kau bahkan terus-menerus menampilkan ekspresi senang yang berlebihan. Bagaimana aku tidak mengetahui perasaanmu?"

"Aku benar-benar senang, Riana."

Aku mengernyitkan kening, kembali berkutat dengan alat tulis. Ayolah, laki-laki itu hanya meliriknya sesaat. Itu jelas tindakan tidak disengaja. Bukankah semua orang pernah melakukan itu? Tak sengaja bersitatap dengan orang lain?

"Kurasa aku semakin menyukainya."

Aku meletakkan pulpen, memerhatikan Sarah yang seperti kehilangan akal—senyum-senyum sendiri. Hari itu, aku menuding perasaan cinta sebagai sesuatu yang paling gila di dunia. Pengaruhnya kuat sekali, mengendalikan kurasa.

"Kamu terlalu memanjakan perasaan itu, Sarah. Berhentilah memikirkan hal-hal yang belum tentu kebenarannya hanya demi mendatangkan kebahagiaan untukmu. Mungkin kamu bahagia atas prasangka-prasangkamu sendiri. Tapi, itu belum pasti. Masih ada kemungkinan prasangkamu salah besar. Jika begitu, kamu mau apa? Menangisi kenyataan? Menuduh bahwa dunia dan seisinya terlalu kejam? Bahwa takdir tidak berpihak padamu?"

Tomorrow Isn't A PromiseWhere stories live. Discover now