Keping 2: Hormat Bendera

161 16 0
                                    

Sepuluh tahun yang lalu

Dari kejauhan, aku melihat anak-anak seumuranku, berseragam SMP dengan perlengkapan masa orientasi lari pontang-panting. Penasaran, aku mengecek jam tangan. Dua menit lagi gerbang ditutup! Celaka. Mengikuti anak-anak yang berjarak dua puluh meter lebih darinya, aku mulai berlari kencang.

Kalau bukan karena Bang Fajar, aku dipastikan sudah duduk manis di kelas. Bang Fajar memang senang membuat masalah denganku. Pagi tadi, Bang Fajar seenaknya menyerobot saat aku hendak menggunakan kamar mandi. Lantas sengaja menggunakannya berlama-lama. Aku berkali-kali menggedor, tak dipedulikan. Malah aku kena marah Ibu. Berisik Riana, kamu mengganggu orang lain yang sedang menikmati sarapan. Aku mendengus sebal.

Lima belas menit sebelum jadwal gerbang ditutup, Bang Fajar baru keluar dengan seringaian menyebalkan. Aku buru-buru masuk, mandi dengan kecepatan kilat. Tiga menit kemudian keluar, disambut dengan ejekan Bang Fajar. Sabunnya habis, Riana? Cepat sekali kamu mandi. Aku hanya mengembungkan wajah, buru-buru berganti pakaian, membereskan semua keperluan. Lalu, berlari menuju jalan raya.

Satu menit lebih menunggu, aku naik angkutan umum, berdesak-desakan dengan penumpang lain yang semuanya siswa, baik SMP maupun SMA. Aku turun bersama dua perempuan berseragam SMA dengan logo yang aku miliki di baju seragam yang belum boleh dipakai. Pasti dua orang itu seniorku. Aku tak peduli. Yang kupedulikan adalah jarak gerbang sekolah dengan jalan raya yang kira-kira tujuh puluh meter.

Sungguh menyebalkan ketika di waktu kritis aku malah dihadang kawananan kambing yang menyebrang jalan. Mau tidak mau, aku harus menunggu barisan kambing lewat. Setelah habis barisan kambing itu, aku kembali berlari kencang. Sayang, belum genap lima meter ditempuhnya, aku melihat gerbang sekolah sudah ditutup. Terlambat. Sempat melambat, dengan perasaan agak jengkel, aku kembali berlari kencang sembari menggerutu dalam hati.

Aku baru berhenti tatkala berhadapan dengan gerbang yang terbuat dari pagar besi bercat hitam itu. Dua senior perempuan yang bertugas menjaga gerbang menatapku sangar. Aku menunggu kedua senior itu berbicara sembari mengatur aliran napasku. Belum ada pembicaraan saat seorang laki-laki menghentikan larinya di sampingku. Aku menoleh sekilas. Dua senior perempuan itu tak berkedip matanya memandang laki-laki di sebelahku. Laki-laki itu tak peduli, masih terengah-engah setelah berlari cukup jauh. Salahnya, ia malah mengibaskan rambutnya, yang sontak membuat dua senior perempuan itu semakin sulit berkedip.

Laki-laki itu memang rupawan. Kulitnya putih. Hidungnya mancung khas orang Barat. Posturnya tinggi—tidak kurang dari 180 senti—dan tegap berotot. Yang paling menawan adalah sorot matanya: bola mata dengan iris berwarna hijau zamrud itu tajam, mematikan laksana ujung pedang.

“Boleh saya masuk, Kak?” laki-laki itu bertanya.

Tak seorang pun menggubrisnya. Kedua kakak senior sibuk terpesona oleh tampang bulenya. Seseorang yang berambut pendek tersadar lebih dulu saat laki-laki itu menepuk tangannya dengan keras di hadapan wajah mereka. Aku langsung mengetahui perbuatan laki-laki adalah suatu kesalahan karena perempuan berambut pendek dan berambut panjang—yang sadar dua detik lebih lama—langsung memarahinya.

“Sudah terlambat, bertindak tidak sopan pula pada senior! Tata kramamu mana?” seru perempuan berambut pendek.

Laki-laki itu diam saja, menunjukkan tampang lugu. Siapa suruh bengong? Kira-kira begitulah maksud air mukanya.

“Jangan diam saja, minta maaf!”

Laki-laki itu menunduk. Bukan takut. Itu lebih karena ia sebal melihat tampang sok galak dua seniornya. “Maafkan saya, Kak.”

“Apa? Ucapkan dengan jelas dan tulus, jangan berbisik! Apalagi terdengar terpaksa.” Senior berambut panjang berkomentar.

“Maafkan saya, Kak.” Laki-laki itu mengulangi.

Tomorrow Isn't A PromiseWhere stories live. Discover now