Pecahan [2] Tamu Asing, Kerabatnya?

148 34 24
                                    

Warning:

Mengandung isu suicide yang mungkin akan membuat sebagian orang merasa tidak nyaman

🌕☀️🌕

"Rita, temani Nenek sarapan yuk?" guncangan lembut dari Nek Ita terhadap tubuh Mirita membuatnya membuka mata.

"Ah." Air matanya menetes, ternyata kebersamaannya dengan keluarganya hanyalah mimpi semu. "Baik."

Bubur buatan Nek Ita yang seharusnya lezat segera menyapa tenggorokannya setelah itu. Tidak ada percakapan yang keduanya coba lontarkan di ruang tengah dengan meja lipat kecil sebagai ruang makan sementara.

Mirita larut dengan pikirannya sendiri seraya menyendok dan mencoba menikmati rasa bubur yang terasa hambar di lidahnya.

Sementara Nek Ita memperhatikannya dalam diam dengan khawatir. Perempuan itu sudah hidup cukup lama untuk memahami kehilangan tiba-tiba yang dirasakan Mirita.

Anak laki-laki nya pun meninggalkan karena kecelakaan mendadak di usia yang relatif muda. Setelah itu, Ia hidup sendiri sebelum akhirnya Mentari dan Bares—kedua orang tua Mirita menjadi temannya di usia baya.

"Terima kasih makannya, Nek. Rita bantu cuci piringnya ya." Mirita tersenyum simpul dan merapikan meja dan beranjak ke dapur untuk membersihkan piring.

Walau badannya enggan beranjak, Mirita tetap harus membalas budi karena sudah dibuatkan sarapan yang lezat.

Pikiran lalu lalang memikirkan masa depannya. Ia harus mengurus dokumen kematian ayah-ibunya, mengurus tabungan keluarga mereka, menyusun budget untuk biaya kuliah dan biaya hidupnya, mengubah jadwal kuliah, mencari pekerjaannya.

Banyak sekali yang harus dilakukan sendirian.

Ia mulai meragukan kemampuan bertahan hidupnya.

"Hah." Mirita menghela napas seraya menatap langit-langit ruangan yang sedikit berjamur dimakan usia. "Apa aku ikut mati saja?" Jika dirinya sampai di rumah lebih cepat, mungkin Ia bisa menyelamatkan keduanya–atau minimal mati bersama mereka.

"Rita," Nek Ita memanggilnya lembut, sepertinya ia mendengar gumaman Mirita yang memikirkan untuk mati.

Baru saja ia ingin membuka suara untuk sedikit menenangkan Mirita, suara ketukan di pintunya membuatnya memutar tumit.

Mirita ikut menoleh ke arah pintu yang terbuka. Laki-laki terlihat sedikit lebih tua darinya ada di muka pintu.

Kedua matanya unik sekali, merah. Apa dia mengenakan softlens? Seleranya untuk sekali.

"Ada apa ya, Nak?" Nek Ita sedikit mendongak untuk menatap wajah tamu tidak dikenalnya.

"Anu, saya–" Mata laki-laki beralih menatap Mirita yang ada di ujung rumah, sedang membersihkan piring dan mengintip dari sela pembatas ruangan, "–Naures, adik jauhnya Kak Mentari."

Mama punya saudara?

"Oh Naures! Ya, ya. Masih ingat dengan Nenek? Dulu kita pernah bertemu kamu dan Rita masih kecil, ingat 'kan?" Respon Nek Ita yang seolah mengenal laki-laki bernama Naures itu sontak membuat kening Mirita berkerut.

Aku pernah main dengan dia? Sebentar tapi bukannya–Ibu sebatang kara?

"Iya, benar. Sejujurnya aku menghubungi Kak Mentari tadi pagi untuk mampir karena studiku di luar negeri sudah selesai, tapi–"

"Maafkan Nenek, tapi Mentari dan Bares telah–"

"Ya." Kedua mata merah itu tampak sedikit berkaca menatap Nek Ita yang tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. "Saya tadi mampir ke sana dan sudah mendengar kabarnya. Saya juga sangat minta maaf karena tidak bisa membantu, khususnya kepada Rita."

Gerakan Mirita seolah berhenti karena namanya kembali disebut. Ia meletakan peralatan makan terakhir di rak pengering dan segera menghampiri pintu. "Kau mengenalku dan Mama?"

Bukannya menjawab, Naures malah menatapnya lembut, "Rita, maafkan saya karena baru datang sekarang."

"Aku tidak pernah tahu Mama punya saudara," sahut Mirita ketus. Rasanya mencurigakan sekali ada seseorang yang tiba-tiba mengaku saudara Mamanya yang sebatang kara tepat sehari setelah pemakaman mereka.

Naures tersenyum kecut. Emosinya tergambar sekali di wajahnya.

"Rita," suara Nek Ita terdengar sedikit sendu, "Kalian pernah main bersama saat kalian SMP ingat? Naures itu adik bungsu dari keluarga besar Mama kamu yang ditinggalkan agar bisa menikah dengan Papamu dulu." Nek Ita terdiam sebentar sebelum melanjutkan, "Mamamu tidak pernah cerita?"

Mirita menggeleng keras. Sama sekali tidak. Bahkan mimpinya semalam saja terasa lebih nyata dari saat ini. Kenapa juga Nek Ita sangat akrab sekali dengan laki-laki asing ini dan yakin apa yang dikatakannya benar?

"Tidak apa-apa Nek, kalau Rita tidak ingat, lagipula itu tidak penting. Yang penting aku sudah tahu kabar kalian semua, nanti kusampaikan ke keluarga besar untuk membantu Rita menyelesaikan kuliahnya, ya?" Naures tampak tidak terganggu dengan reaksi Mirita yang dingin.

"Mungkin saya izin pamit dulu Nek Ita, sehat-sehat ya." Naures salim dengan Nek Ita, sebelum kembali menatap Mirita, "Kalau butuh bantuan pengurusan dokumen dan sebagainya, tolong kontak saya saja ya, Rita."

Kening Mirita berkerut dalam. Ia benar-benar tidak bisa mencerna situasi ini. Naures menyodorkan kartu nama yang membuat situasinya semakin membingungkan. Ia dari firma hukum ternama, juga nama belakang keluarganya adalah Angkasa.

Walau Mirita merupakan mahasiswa kimia dan tidak tertarik dengan industri lain, ia pun mengenal nama keluarga Angkasa adalah keluarga yang besar dan populer, apalagi di Jakarta.

Rasanya aneh sekali membayangkan Ibunya juga berasal dari keluarga yang sama.

"Saya pamit ya, Rita. Sehat-sehat," katanya sebelum akhirnya benar-benar menghilang, menyisakan pertanyaan menggantung di benak Mirita.

Rita menatap punggung Naures yang sedikit lebih tinggi darinya–mungkin sekitar 25 tahunan, terpaut sedikit jauh dari dirinya yang menginjak 19 tahun bulan depan, saat Maret.

Hatinya nyeri membayangkan Ia harus merayakan ulang tahunnya sendirian.

"Nek Ita, sejak kapan Mama bilang punya saudara? Bukannya Mama dan Papa sama-sama sebatang kara?"

Itu yang menjadi alasan bahwa pemakaman kedua orang tuanya yang sudah menjadi abu bisa dilaksanakan secepat mungkin. Karena mereka tidak punya kerabat yang bisa dihubungi, hanya dirinya dan para tetangga yang menatap dirinya iba.

"Mentari–maksud Nenek, Mamamu memang sudah lama berpisah dari keluarganya, jauh sebelum kamu lahir," sahut Nek Ita.

"Apa itu nggak salah paham? Mungkin dia hanya kenalan Mama dari masa kuliah dulu." Mirita ingat bahwa Mamanya sempat cerita dirinya hidup dengan kakek-ibunya sampai lulus dari perguruan tinggi, setelah itu kakeknya–alias kakek buyut Mirita meninggal, dan ia pun putus kontak dari Ibunya–alias nenek Mirita.

Ah. Apa Naures adalah anak lain dari Neneknya?

Tapi beliau pun sudah meninggal saat Mirita duduk di sekolah dasar. Bagaimana bisa ada adik laki-laki Ibunya yang hanya terpaut 6 tahun dari dirinya?

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang