Pecahan [8] Akhir Kecurigaan

83 23 9
                                    

Akhirnya Nek Ita dilaporkan sebagai orang hilang.

Mirita cukup kesulitan membuktikan kekerabatan mereka, karena secara legal mereka bukan merupakan keluarga.

Syukurlah berkas-berkas keluarganya sudah selesai diurus oleh Naures, Ia memiliki argumen kuat bahwa mereka tinggal bersama sebagai tetangga yang tertimpa musibah kebakaran.

Meski begitu, Mirita tetap dimintai keterangan cukup lama sebagai saksi.

Tangan Mirita gemetar di bawah meja dengan tatapan mata yang berat, Ia tidak menyantap apapun dari pagi, tidak tidur, dan merasa bersalah seakan semuanya adalah salahnya.

Naures mengambil menepuk bahu Mirita dan mengusapnya lembut, Ia meminta izin untuk membantu sebagai kerabat jauh dari Mirita–yang ternyata bisa dibuktikan secara legal oleh Naures dengan dokumen-dokumen yang ia bawa dari kediamannya–dan diperbolehkan oleh pihak kepolisian.

Mirita akhirnya benar-benar bergantung pada Naures sebagai kerabat.

Ia menolaknya, tapi dirinya benar-benar tidak bisa hanya mengandalkan dirinya.

Air matanya menetes. Ia mengusap pipinya yang basah dengan kasar sementara Naures membantu menjawab pertanyaan yang menumpuk.

Bahkan telinga Mirita tidak bisa lagi mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan. Kepalanya terlalu berisik untuk mengutuk diri sendiri.

"Rita." Naures memanggilnya setelah segudang pertanyaan itu tampak selesai. Ia berlutut agar mata Mirita yang tidak fokus bisa melihatnya. "Kita boleh pulang, nanti akan dihubungi jika ada kabar dari Nek Ita, oke?"

Mirita mengangguk kecil.

Sebelum akhirnya Naures membawanya pulang ke rumah Nek Ita.

🌕☀️🌕

"Saya belikan Rita bubur ya?" Naures melenyapkan keheningan mereka yang sedang membelah jalanan padat Ibukota.

Tidak ada jawaban dari Mirita yang menatap kosong keluar jendela.

Naures memarkirkan mobilnya di depan resto bubur ayam tepi jalan yang sedikit ramai pengunjung.

Bruk.

Suara pintu mobil yang sedikit terbanting menyadarkan Mirita dari lamunannya. Ia menaikan kakinya agar kedua lututnya bisa menyentuh kening, menutupi wajahnya yang muram.

Bagaimana Jika Nek Ita benar-benar tidak kembali? Apakah itu salahnya karena sudah menumpang rumah dan tidak menjaganya bersamaan dengan benar?

Bagaimana jika Ia akan berakhir seperti ini? Sendirian.

Sepertinya kesombongan Mirita untuk menepis bantuan Naures karena Ia mencurigakan adalah semu belaka.

Ia hanya percaya diri untuk menghidupi dirinya sendirian karena ada Nek Ita yang bisa Ia percaya.

Namun sekarang?

Perut Mirita terasa terguncang-guncang dari dalam. Ia ternyata bukan tidak makan seharian, melainkan dari semalam. Asam lambungnya mengamuk. Dengan tangan gemetar Ia membuka knop pintu mobil dan memuntahkan isi perutnya hingga tersisa udara kosong.

Naures datang menghampirinya dengan berlari. Tangannya membawa dua porsi bubur takeaway yang kemudian ikut jatuh ke tanah seketika tubuh Mirita terhuyung.

🌕☀️🌕

"Rita hati-hati, Nak." Bayangan wajah Ibu yang tersenyum seketika berganti dengan kobaran api dahsyat yang membuat Mirita refleks batuk, sekalipun dirinya tidak merasa benar-benar menghirup asap. "Lari, Rita! Lari!"

Bayangan hitam yang menyerupai siluet orang di belakang Ibunya, menyeretnya masuk ke dalam api.

"Mama!" Mirita yang nyaris berlari menerjang api, ditarik oleh seseorang untuk menjauh.

"Rita! Kamu harus lari! Harus! Hati-hati!" Ternyata Ayahnya yang menarik tubuhnya untuk maju.

Mereka sempat berkelit beberapa kali menghindari puing-puing terbakar yang jatuh dari atas.

Hingga akhirnya, mereka berdua tersandung jatuh karena hambatan dikaki. Sialnya hambatan itu terbakar dan apinya menjalar ke kedua kaki ayahnya.

"Pa!"

"Terus cari jalan keluar Rita!" pesan ayahnya yang kesakitan terbakar api.

Mirita menggigit bibirnya. Ia tidak ingin melangkah maju, tapi kedua kakinya sontak maju seketika ada suara langkah kaki asing yang tenang di belakang mereka.

Mirita melirik ke belakang sesaat sebelum dirinya berhasil mencapai pintu.

🌕☀️🌕

Pupil coklatnya milik Mirita bertatapan dengan pupil merah milik Naures.

"Rita! Syukurlah!" katanya.

Pandangan Mirita sedikit buram dan menatap langit-langit asing di atasnya, juga tangannya yang terasa seperti tertarik sesuatu.

Oh. Ternyata infus.

"Ini di rumah sakit?"

"Ya, tapi Rita pingsan," sahut Naures cepat. "Sebentar saya izin panggilkan dokter atau suster."

Rasanya tadi aku mimpi sesuatu yang penting, apa ya?

Sebelum Mirita berhasil menggali jejak memorinya soal mimpi barusan, kepalanya berdenyut kencang hingga ia meringis kecil.

Tubuhnya seakan mengamuk karena beberapa hari ini–nyaris seminggu sejak kebakaran itu–Mirita tidak benar-benar hidup dengan baik.

"Kalau hari itu gue langsung mati, kayaknya gak serepot ini," gumam Mirita kepada dirinya sendiri.

Naures datang dengan Dokter yang sigap memeriksa keseluruhan kondisi Mirita, Ia menjelaskan bahwa asam lambung Mirita bermasalah karena asupan makan yang berantakan, juga menyarankan beberapa menu makanan yang bisa disiapkan.

"Setelah infus habis, Mirita boleh pulang, jangan pula harus dipaksa untuk makan, walau hanya sedikit-sedikit, ya," pesan Dokter kepada Mirita—atau lebih tepatnya kepada Naures yang menyimak dengan sangat baik, bahkan sampai mengeluarkan catatan.

Seketika dokter meninggalkan mereka. Mirita membuka suara dengan, "Maaf sudah merepotkan."

"Apanya yang merepotkan? Rita tanggung jawab saya," kata Naures tegas, "tapi saya terima permintaan maaf Rita karena tidak makan dengan benar."

Laki-laki yang rahangnya cukup lembut karena pipinya yang sedikit berisi itu menampilkan ekspresi marah, sedikit panik, dan kebingungan.

"Saya juga minta maaf karena terlambat menyiapkan makanan dan menyadari bahwa Rita kurang sehat," sambungnya setelah sedikit menetralkan amarah.

Rasa bersalah menggantung tepat di wajahnya yang berubah muram.

Mirita sejujurnya tidak tahu harus menjawab seperti apa pernyataan itu. Jadi ia hanya menjawabnya dengan, "Mmm."

"Rita masih mengantuk? Tidur lagi saja, nanti saya yang bangunkan jika infus-nya sudah habis."

"Bicaralah lebih santai, Paman. Karena keponakanmu ini akan merepotkan lebih lama sepertinya," racau Mirita setengah sadar sebelum akhirnya menutup mata.

"Benar." Kedua mata merah Naures seketika itu berpendar lembut. Sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas dan lampu rumah kamar Mirita berkedip beberapa kali. "Kamu akan merepotkan saya lebih lama." 

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang