Pecahan [9] Tekad untuk Baik-Baik Saja

94 22 7
                                    

Mirita kembali membuka matanya. Kini ia benar-benar terkejut karena menatap langit-langit dengan ukiran-lekukan khas klasik yang asing.

Mirita meremas selimut tebal berwarna putih yang menyelimutinya. Ia gugup dan takut karena dua kali membuka mata dan berada di tempat asing.

"Anu, Rita?"

Mirita menghembuskan napas lega karena mendengar suara Naures.

"Ya?" sahutnya ketika wajah Naures tampak muncul dari pintu yang terbuka.

"Maaf, jika kamu terkejut, saya membawamu ke rumah saya." Naures menelan salivanya canggung. "Karena kepolisian meminta izin sementara untuk memeriksa rumah Nek Ita untuk mencari petunjuk."

"Oh. Begitu?"

'Ya. Saya baru akan kesana untuk memantau perkembangannya, kamu nggak apa-apa istirahat di sini dulu?" Kedua mata merah itu tampak memancarkan sorot khawatir.

"Ya, tidak apa-apa."

"Ada bubur dan air hangat di nakas sisi kasur," pesan Naures dengan sedikit memaksakan senyum. "Kalau perlu apa-apa Rita juga bisa membunyikan lonceng yang ada di nakas, nanti akan ada pelayan pribadi saya–Rino–yang datang."

"Baik, akan gue ingat."

Naures melambaikan tangan sebelum akhirnya menutup pintu kamar tamu yang ditempati Mirita. Kedua pupil coklatnya menyisir seluruh sudut ruangan.

Lekuk dan ornamen bunga klasik, lampu hias kaca gantung yang sering Mirita lihat hanya di film karena harganya yang mahal, tepat ada di atas tubuhnya yang terbaring di atas king size bed yang tebal dan empuk.

Berbeda sekali dengan alas tidur seadanya di rumah Nek Iya, bahkan kasur anginnya di rumah orangtuanya.

Nakas berwarna putih yang sikunya berwarna keemasan di sisi kasur juga menarik perhatiannya.

Perutnya yang berbunyi, membuatnya tidak berpikir dua kali untuk menyantap bubur dan air hangat yang tersaji di sana.

Ia memindahkan meja kecil, yang menopang dua santapan tu di nakas, ke posisi nyamannya di atas kasur dan menyantapnya perlahan, karena Mirita tidak ingin memuntahkannya.

Sepertinya ini bukan bubur yang tadi Naures beli dan jatuh berantakan sesaat sebelum kesadaran gue ilang.

Bubur yang masih terasa hangat itu, menyapa lembut lidah Mirita yang terasa sudah lama sekali tidak menelan makanan.

Sepertinya makanan terakhirnya adalah sup daging andalannya Nek Ita.

"Ah. Harusnya gue ikut Naures tadi, ya?" Mirita memikirkan Nek Ita yang sampai sekarang belum ditemukan dan dirinya malah menikmati semangkuk bubur di atas kasur yang hangat.

Rasanya sangat durhaka dan tidak tahu terima kasih.

Mirita akhirnya menghabiskan bubur dan menuntaskan segelas air hangatnya dengan cekatan. Walau sebenarnya sedikit mual, karena ia tidak dianjurkan makan dengan terburu-buru.

Ia menghela napas panjang, memerintahkan tubuhnya untuk bergerak seperti yang ia inginkan, dan membunyikan bel yang sangat klasik, cocok sekali dengan interior kamar yang ia tempati.

Tring! Tring!

Tidak berselang 30 detik, suara ketukan lembut di pintunya datang, menyusul seorang laki-laki bertubuh mungil sekitar 140 cm yang bahkan lebih kecil dari Mirita.

Wajahnya sangat baby face. Sejenak Mirita sempat mempertanyakan apakah Naures mempekerjakan pelayan di bawah umur.


Tapi tidak mungkin, kan?

"Ada apa, Nona?" Suara bariton yang sama sekali tidak cocok dengan penampilannya membuat Mirita menepis kecurigaan.

"Anu, apa aku bisa menyusul Naures sekarang? Sepertinya aku harus ikut."

Tidak mengambil jeda untuk berpikir, Rino dengan tegas menjawab, "Tuan Naures memerintahkan Nona untuk istirahat."

Rino menyadari bahwa santapan yang disiapkan untuk Mirita telah habis dan tubuhnya bergerak ke arah nakas untuk membawanya.

"Percaya saja pada Tuan Naures," katanya sebelum membawa mangkuk dan gelas dengan nampan, melipat meja kecil yang digunakan Mirita sebelumnya untuk makan di atas kasur ke sisi kiri nakas.

"Tunggu sebentar, saya akan bawakan hidangan penutup," katanya sebelum melenggang pergi keluar kamar.

Mirita menggerutu, kalau begini, Ia tidak bisa menghilangkan rasa bersalah yang mengganggu.

Mirita kembali melipat kakinya, lututnya menyentuh dagu, Ia menunduk membayangi wajah kedua orangtuanya dan Nek Ita yang masih lekat diingatan.

Rasanya ingin sekali dirinya kabur ke Bandung dan melupakan semua hal buruk di sini, membiarkan Naures yang mengurus sisanya.

"Sial."

Ketukan pintu Rino membuat Mirita memperbaiki posisinya.

Rino datang dengan semangkuk kecil melon, semangka, dan pepaya, dan satu tas berisi alat mandi dan baju ganti baru.

"Silakan dinikmati, Nona. Saya juga bawakan peralatan yang bisa Nona pakai untuk membersihkan diri, kamar mandi ada di belakang tempat tidur, masuk dari sisi kanan."

Kepala Mirita sontak menengok sebelah kanan tempat tidurnya yang ternyata ada pintu kecil yang samar karena desain pintu ambigu membaur alami dengan akses ruangan. Knop pintunya bulat mungil keemasan, lebih terlihat seperti hiasan cantik untuk menggantung tas di mata Mirita.

"Baik," Mirita menjawab singkat, menunggu Rino keluar dari ruangan, mengesampingkan santapan makanan penutup yang dibawakan Rino dan bergegas membersihkan diri untuk menjernihkan pikiran.

Air shower yang dingin menghujani kepala Mirita dengan lembut. Ia berusaha menikmati setiap tetesan air yang mengalir di tubuhnya untuk menyadarkan kepalanya akan saat ini.

Ia berusaha agar dirinya berhenti memikirkan hal-hal buruk yang terjadi kemarin, hal-hal buruk yang mungkin terjadi di masa depan, juga mengabaikan mimpi-mimpi anehnya yang selalu datang dan membuat harinya semakin berat.

"Ayo mulai menerima semua yang terjadi," gumam Mirita setelah cukup lama membiarkan dirinya kedinginan di bawah shower.

"Ayo mulai terbiasa tanpa Mama-Papa dan tidak berpikiran buruk bahwa Nek Ita tidak akan kembali." Tubuh Mirita mulai menggigil karena durasi yang semakin lama. "Tidak apa-apa."

Mirita mematikan shower dan terduduk di marmer dingin yang masih digenangi air. "Aku akan baik-baik saja," tekad Mirita kepada dirinya sendiri.

Mirita bersin karena kedinginan dan tertawa ganjil.

"Ya, tidak apa-apa Rita. Tidak apa-apa."

Akhirnya Mirita selesai dengan penaatan pikirannya. Ia keluar dari kamar mandi dengan tubuh gemetar dan langkah limbung karena kepalanya yang berputar-putar. 

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang