Pecahan [13] Diculik

80 20 14
                                    

"Ngapain sendirian?"

Itu bukan suaranya—tapi suara itu seolah berasal dari kedua mulut Mirita yang sedang menyapa anak laki-laki berambut hitam kasar dengan iris merah. "Nggak punya temen ya?"

Anak laki-laki itu menepis tangan mungil pucat yang diulurkan olehnya. "Padahal saya mau temenan."

"Temenan? Orang desa ini mau temenan sama saya?" katanya dengan nada menyindir. "Kalau mau mengerjai langsung saja, nggak usah pura-pura ramah. Gadis aneh."

"Um."

🌕☀️🌕

"Anak bodoh."

Um?

Kesadaran Mirita terbangun, meskipun kedua matanya belum terbuka. Ia sepertinya sudah bangun dari mimpi, tapi kenapa Naures yang kaku itu memakinya.

"Padahal saya sudah berusaha untuk mendekatinya dengan alami, kenapa dia rapuh sekali?"

Itu benar-benar suara Naures yang memakinya.

"Manusia memang seperti itu Tuan," sahur Rino dengan nada datar dinginnya.

"Ya. Kau benar. Seharusnya aku tidak membuang waktu dengan cara manusia untuk menculiknya dengan membuatnya percaya pada saya— seharusnya saya paksa saja dari awal."

Menculik?

"Sebentar. Sepertinya dia sudah bangun."

Mirita membuka matanya dengan kewaspadaan yang naik. Ia mendengarkan percakapan ganjil yang mengerikan.

"Rita! Syukurlah kamu sudah bangun, saya khawatir," ujar Naures dengan suara lembutnya. Seolah perkataan dingin dan jengkelnya beberapa detik lalu hanya ilusi tidurnya.

"Um." Mirita memaksakan tubuhnya untuk bangun, seketika itu ia sadar bahwa kedua kakinya tidak bebas.

Ada tali di ujung kakinya, dan perban di sepanjang lengannya. "Apa yang—"

"Kamu melukai dirimu tadi sore." Naures tampak sangat sedih saat menjelaskannya. "Maaf, seharusnya saya menemanimu Rita."

Benarkah? Ia tidak terlalu ingat—tapi sebentar bukan itu yang penting, soal percakapan sebelumnya yang ia dengar bagaimana–menculik?

Ia diculik?

Benar bukankah lokasi rumah ini sangat mencurigakan hingga sebelum Naures pulang, ia mencoba menghubungi 119 namun sialnya tidak tersambung?

Kemudian, Naures datang dengan terluka dan menyampaikan informasi bahwa diluar sana lebih berbahaya dan Nek Ita sedang diculik juga terancam nyawa?

Tapi benarkah bahwa dirinya aman di rumah ini? Bersama Naures?

"Anu, soal percakapan sebelum ini–"

Kedua bola mata merah itu sepertinya mencoba menutupi keterkejutannya, namun untuk kali ini Mirita melihat kegelisahan di sana.

"--mungkin soal Nek Ita saya akan mempercayakannya pada Kak Naures, namun sepertinya saya ingin kembali ke Bandung saja."

Naures meraih tangan Mirita yang terbalut perban dengan lembut. "Tidak bisa."

"Kenapa tidak?"

"Karena kau lebih aman di sini."

"Lebih aman di sini? Benarkah? Sebenarnya apa aku bisa mempercayai Kak Naures yang sangat mencurigakan?" Mirita mengambil tangannya kembali dari Naures dengan kasar.

Mengabaikan perih yang dirasakannya akibat luka bakar berkat tindakan implusifnya.

"Rita? Apa maksudnya—"

"Peristiwa kebakaran itu, mimpi-mimpi aneh yang datang, kemunculan lo, Nek Ita yang menghilang, gue yang sakit dan dibawa ke sini, telepon Nek Ita, dan alesan lo nahan gue di sini, bukannya gak masuk akal?"

Naures terdiam, Rino juga mematung di sudut ruangan selayaknya pajangan bisu.

Seluruh tubuh Mirita gemetar, matanya basah melihat dirinya yang benar-benar tertipu tidak berdaya. "Dari awal lo nyulik gue? Siapa lo sebenarnya? Buat apa? Apa untungnya? Apa rumah gue juga lo yang bakar? Apa Nek Ita juga lo yang culik?"

Gadis itu hanya bisa marah dan menangis.

"Hah." Naures menghembuskan napas gusar. "Padahal kali ini, gue gak mau memulainya dengan paksaan.

Naures mengangkat tangannya dari bawah ke atas—seperti gerakan melambai secara terbalik. Cahaya merah temaram mengikuti gerakannya, seiring dengan pakaian casualnya berubah menjadi jubah hitam dengan permata merah di tengah yang berpendar.

"Ya. Saya menculikmu." Naures yang sekarang berpenampilan sangat asing dengan pakaian yang ganjil, seperti penyihir di dongeng-dongeng tua. "Kelinci manisku, sulit tahu menemukanmu di lini waktu ini."

Mata merahnya berpendar, seiring dengan tubuhnya yang mendekat sebelum akhirnya mencium Mirita secara sepihak diatas ranjang, dengan kaki terikat.

Mirita berontak dengan segenap tenaga yang bisa ia lakukan, namun tenaga dan kesadarannya seolah hilang tanpa jejak.

🌕☀️🌕

"Um, saya cuma mau temenan kok." Sepertinya dirinya di mimpi ini sedang berjongkok agar bisa menyamakan pandangan dengan anak laki-laki urakan yang sembarangan bersantai di bawah pohon beringin besar.

"Saya baru pindah ke desa ini untuk masuk akademi, jadi saya senang kalau bisa mendapat teman baru."

Bahkan permohonan manis itu tidak bisa membuat tatapan jengkel dari anak laki-laki lawan bicaranya itu hilang.

"Tapi kalau tidak mau ya sudah." Sepertinya ia malu karena ditolak dengan menyedihkan. Mirita tidak melihat siapa anak yang menjadi sudut pandang pertamanya saat ini, namun ia merasa bahwa dirinya sedang menggembungkan pipi dan berdiri dengan hentakan.

"Anak bodoh." 

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang