Pecahan [6] Niat Balas Budi

104 26 32
                                    

"Halo, Rita," sapa Naures, di depan teras rumah Nek Ita, yang sudah sehat sempurna dua hari berselang ingatan aneh yang tiba-tiba muncul di kepalanya.

Akhirnya Mirita mengontraknya kemarin, Ia sudah berusaha membereskan setengah dokumen yang terbakar, namun yang berhasil ia registrasi ulang baru setengahnya. Sepertinya memang repot mengurusnya sendirian.

Belum lagi, kenangan-kenangan kedua orang tuanya yang masih menghantuinya di mimpi, waktu tidurnya yang semakin singkat, dan semua persyaratan yang harus dipenuhi untuk pengurusan berkas—rasanya benar-benar terlalu banyak.

"Halo Kak."

Mirita sedikit mendongak untuk menatap laki-laki yang sedang mengenakan kaos kerah putih dengan knit manis sebagai luaran.

Sejujurnya, terlepas dari kedua mata merahnya yang ganjil, Naures cukup manis dan rupawan.

Paman yang tampan.

"Mohon bantuannya," sambung Mirita.

Naures mengangguk cepat dengan sudut bibir sedikit tertarik ke atas.


Sepertinya Ia senang sekali bisa diizinkan membantu mengurus hal-hal yang ditinggalkan kakak perempuannya.

"Senang sudah diizinkan untuk membantu, Rita," katanya.

Mungkin jika mengingat bagaimana Mirita menanggapinya dengan dingin karena curiga beberapa hari lalu, dengan latar belakang ceritanya, rasa senang dan bersyukurnya adalah hal yang wajar.

🌕☀️🌕

Matahari bahkan terbenam lebih dulu, daripada kegiatan Mirita dan Naures sejak tadi pagi bertemu di teras rumah Nek Ita. Walau dibantu oleh Naures yang lebih tua dan dengan percaya dirinya menawarkan untuk membantu, ternyata antriannya tidak sesederhana itu.

80% hari ini dihabiskan untuk mengantri, mungkin karena hari ini memang hari sibuk. Entahlah. Yang jelas, besok mereka masih harus melanjutkan, dan mampir ke bank untuk pengalihan dana ke rekening Mirita.

"Haaaaaah." Gadis yang hari ini mengenakan kaos dan celana bahan kebesaran itu menghela napas panjang. Rambut pendek sebahunya terurai berantakan dengan hari kedua yang panjang untuk mengurus ini dan itu.

Mirita juga harus memutuskan setelah ini, Ia akan menetap di rumah Nek Ita atau langsung kembali ke Bandung saja, di kosannya.

Melewati jejak rumahnya setiap keluar masuk komplek, hanya akan terus membuatnya kurang tidur.

"Mungkin jika di Bandung, gue akan lebih bisa melupakan ini sedikit," gumamnya sambil menunggu Naures datang dengan mobilnya—kali ini dibawa sendiri.

Ia sedikit memainkan kedua telapak kakinya karena kebiasaan untuk merasakan pijakan di bawahnya. Sayangkan sepatu kets yang ia gunakan membuatnya tidak terlalu utuh merasakan pijakannya.

Air matanya menggenang di pelupuk mata.

Naures datang seketika bendungan pelupuknya bocor. Akhirnya Mirita berusaha menangis tanpa suara di mobil Naures yang melaju pulang.

"Rita, sekarang masih kuliah di Bandung kan ya?" Naures memecah keheningan setelah Mirita menghapus kedua air matanya.

"Ya. Semester 2 Teknik Kimia," sahut Mirita dengan suara parau. Ia cukup nyaman karena Naures tidak menyinggung tangisannya barusan.

Sepertinya ia sudah tahu jawabannya, tapi bertanya, "Kamu nggak apa-apa?"

"Di sana nge-kos?"

"Ya."

"Apa–kamu nggak mau tinggal bareng saya saja?"

Mirita segera menoleh pada Naures secepat kilat. Kedua pupil hitamnya melebar. "Apa?"

"Ah, nggak. Nanti kalau kembali ke sana, saya antar ya." Naures mengembalikan fokusnya ke jalanan malam Jakarta yang padat.

Meninggalkan Mirita yang terkejut dengan kening berkerut dalam.

"Saya cuma—merasa terlambat membalas budi pada kebaikan hati Kak Tari." Kedua tangan Naures mencengkram stir kuat-kuat.

"Lalu?" Kepala Mirita sedikit miring ke kanan, karena mencoba memproses hal yang coba ia lakukan sebagai paman. "Membalas budi dengan menjadi wali gue?"

Suara mesin mobil dan rem tangan yang ditarik karena laju jalan mulai berhenti menjadi jeda yang cukup lama sebelum Naures menjawab dengan, "Ya."

"Anak sembilan belas tahun mana yang perlu wali?"

"Yah." Naures pasti sudah sepenuhnya paham bahwa anak usia diatas 18 tahun sudah memasuki usia dewasa secara hukum, Mirita tidak membutuhkan wali. "Tolong panggil saya jika terjadi sesuatu. Saya akan mengerjakan pekerjaan saya dari Bandung untuk setelah menyelesaikan hal-hal yang di sini."

"Akan gue ingat, Paman." Mirita memberi sedikit penekanan pada sapaannya itu.

"Lagian kenapa baru mau membalas kebaikan Mama sekarang? Tahun-tahun Mama berusaha sendirian kan tidak akan kembali," gerutu Mirita kecil.

Sebenarnya, selain untuk mengeluhkan Naures yang hari ini benar-benar berusaha menjadi adik-dari-Mamanya dengan membantunya hidup tanpa keluarga. Mirita sendiri juga merasakan hal yang sama.

Mungkin jika ia pulang lebih awal, jika ia mengabari dan tidak membuat kejutan, mereka tidak ada di rumah dan dilahap api saat itu juga.

"Maaf," ucap Naures seolah tanpa konteks setelah mereka tidak saling membuka suara selama satu jam perjalanan.

Mirita yang tengah berdiri di depan pintu dan memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal di mobil Naures terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menutup pintu tanpa memberikan balasan apapun untuk permintaan maafnya.

Terlalu jauh, jika lo baru mau bales budi sama Mama sekarang.

Mirita marah, mungkin karena ia membayangkan jelas apa yang dirasakan Ibunya saat sendirian di masa-masa tidak dihargai, bahkan dihapus utuh oleh keluarganya.

Ia tahu, itu bukan sepenuhnya salah Naures yang bahkan saat itu baru berusaha 12 tahun, tapi–rasanya kesal.

Mirita juga kesal pada dirinya yang baru mengetahui kesulitan Ibunya setelah beliau tidak ada.

Perempuan yang tubuhnya bahkan lebih mungil dari tinggi Mirita yang hanya 160 sentimeter itu, selalu mendengarkan setiap ceritanya dengan tatapan mata teduh, rambut yang diikat asal, dan daster kesayangannya yang adem untuk menyelesaikan berbagai urusan rumah dan pesanan catering acara tetangga mereka. 

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang