Pecahan [10] Telepon yang Putus

63 19 4
                                    

Ternyata kantung pakaian yang disiapkan oleh Rino berisi 'baju rumah' berupa kaos, celana pendek, bahkan sandal rumah berbulu hitam polos yang nyaman.

Mirita mengenakan semuanya dan mengintip keluar dari ruangannya.

Lorong panjang menyambutnya, ia merasa kecil dibandingkan jendela sebesar 2x1 meter yang menghiasi dinding dan menghadap taman kecil dengan sebuah pohon besar tanpa buah di tengah hamparan kebun bunga mawar biru yang segar.

"Rumah klasik ini benar-benar seperti nuansa rumah bangsawan kuno di komik," gumam Mirita menyisir langkah dan melewati beberapa jendela besar juga pintu-pintu yang tidak tahu mengarah ke mana.

Sebuah pintu kayu besar diujung lorong dengan ukiran-ukiran dalam berwarna merah yang tampak tidak beraturan membuat Mirita menghentikan langkah.

Perasaannya sedikit tidak nyaman ketika melihat pintu itu, ada sesuatu yang membuatnya penasaran dan di saat yang sama tidak berani untuk memenuhi rasa penasarannya.

"Nona," suara Rino yang dingin membuat Mirita merinding. Rasa takutnya mencuat.

"Tuan Naures memerintahkan Nona untuk beristirahat, ayo saya antar kembali ke kamar."

"Oh." Mirita sedikit menunduk untuk melihat Rino dari tingginya yang mencapai 160 cm. Rino sangat kecil dibandingkan dirinya.

Namun suara bariton dingin, juga wajahnya yang pucat hingga seakan mengilat, dengan pakaian pelayan abad 15 membuatnya bergidik ngeri. "Baik, Maaf sudah berjalan-jalan tanpa izin," jawab Mirita canggung.

"Tidak apa-apa. Nona boleh meminta tolong pada saya jika membutuhkan sesuatu dari kamar saja." Rino sedikit menunduk dan mengarahkan tangannya. Mengisyaratkan Mirita untuk kembali.

Click.

Akhirnya Mirita kembali ke kamar, dan membuka tasnya yang tergeletak di sisi kaki nakas. Ia mengecek jam, pukul 9 pagi, Jumat 20 Februari 2018. Berselang dua hari dari hilangnya Nek Ita, dan lima hari dari kebakaran.

Mirita mengecek inbox di ponselnya. Tidak ada notifikasi di sana, kecuali riwayat teleponnya dengan Ayah dan Ibunya secara bergantian.

Mirita tidak pernah benar-benar berteman dengan siapapun di kampusnya, Ia hanya bertukar sapa seadanya di kelas dan mengerjakan beberapa proyek kelompok dengan baik.

Itu sebabnya ketika kedua orangtua tempatnya bergantung hilang, ia benar-benar sendirian.

Sesungguhnya Mirita bertanya-tanya mengapa dirinya sulit berteman—apa karena topik yang berputar di hidupnya hanyalah keluarga-sekolah? Jadi ia membosankan untuk diajak mengobrol. Entahlah.

Oh benar.

Ia menghubungi Naures saat pertama kali meminta bantuan.

Segera setelah Mirita menemukan nomor Naures yang tersimpan, Ia pun menekan panggilan.

Satu, dua, tiga ...

Mirita menghitung nada dering panggilan yang tidak diangkat.

"Kak Nau–" Seketika dering teleponnya diangkat, suara kekacauan terdengar dari seberang telepon.

Suara bisikan lirik Nek Ita menjawab dengan ketakutan, "Rita. Maafkan Nenek."

"Nek Ita! Nenek di mana? Rita khawatir! Kenapa menghilang tanpa pe–"

"Jangan percaya–"

Suara dentuman keras dan teriakan Nek Ita terdengar sebelum panggilan tertutup.

Jantung Mirita berpacu karena kaget dan takut. Ia segera mencoba menghubungi nomor Naures kembali, namun tidak bisa dituju.

"Tidak. Tidak. Nek Ita! Naures!" teriak Mirita panik sambil mengakses lokasi dari ponselnya untuk tahu jelas di mana posisinya dan berapa lama yang bisa ia tuju untuk tiba di rumah Nek Ita.

Seharusnya Naures dan Nek Ita ada di sana, ya kan? Bersama polisi?

Jadi seharusnya dentuman tadi hanya karena ponsel Naures yang terjatuh dari tangan Nek Ita yang licin.

Jadi seharusnya tidak apa-apa.


Seperti yang diharapkannya. Seperti yang–

Dialog Mirita dengan kepalanya terputus saat ia menyadari bahwa lokasi di ponselnya menunjukkan titik dirinya berada di tengah pulau yang jauh dari Jakarta.

Tidak terlalu jauh sepertinya–namun aksesnya hanya bisa dilalui oleh kapal laut.

Mirita segera membunyikan bel dengan panik, Rino muncul di muka pintu dengan suara bariton dinginnya.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?"

"Saya sepertinya harus mampir ke rumah Nek Ita untuk mengambil barang saya yang tertinggal." Mirita menggigit bibirnya takut. "Bisa kamu jelaskan bagaimana saya bisa ke sana?"

"Hm. Anda bisa bertanya pada Tuan Naures untuk mengambilkan barang anda."

"Naures 'kan sedang tidak ada, bisakah kamu membantu saya untuk menghubunginya?" Mirita bersikeras, setidaknya ia harus memastikan bahwa Naures dan Nek Ita ada di rumah itu dengan aman.

"Mohon maaf, saya tidak bisa menghubungi Tuan Naures, Nona bisa menunggunya pulang." Rino menunduk sopan seraya meminta maaf.

Napas Mirita tercekat karena kebuntuan informasi yang diberikan Rino.

Tunggu ia tidak boleh buru-buru, bagaimana jika ada kemungkinan lain?

Bagaimana jika kalimat Nek Ita yang dipotong sambungan telepon adalah, Jangan percaya Naures?

Bukannya aneh jika rumah kediaman Naures berada di tengah pulau dikelilingi laut? Ditambah Ia malah membawa Mirita yang sedang tidak sadarkan diri ke sini, padahal jaraknya jauh dan tidak bisa ditempuh melalui jalur darat.

Rumah klasik dengan pintu besar diujung lorong yang mencurigakan, juga pelayan yang kaku dan dingin.

"Baik, saya akan menunggu Naures saja kalau begitu. Terima kasih Rino," jawab Mirita agar Rino segera meninggalkan ruangan.

Setelah memastikan bahwa langkah kaki Rino menjauh–Mirita menghubungi nomor darurat 112 untuk meminta bantuan.

Satu, dua, tiga, empat, lima ...

"Sial tidak tersambung." Mirita mencengkram ponselnya.

Semoga Nek Ita baik-baik saja.

Kumohon.

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang