Sebuah Serangan

115 11 4
                                    


"...Semua siswa harap segera mengungsi ... Silahkan ikuti arahan wali kelas dan ketua kelas masing-masing! Mohon untuk tetap tenang dengan tidak melangkah terburu-buru untuk menghindari cedera... ."

Rekaman suara Kepala Sekolah terdengar berulang-ulang, sesekali tenggelam oleh jeritan sirine tanda bahaya yang memekakkan telinga. Mereka sudah berkali-kali mendengarnya di setiap latihan penanganan bencana, tetapi tidak sebanding dengan saat mengalami bahaya yang sesungguhnya.

Wajah-wajah cemas berbaur dengan wajah-wajah kebingungan, tak ada satu pun dari mereka yang berniat bercanda seperti ketika mereka masih menjalani latihan. Satu-persatu dari mereka menerima helm dan masker yang dibagikan dalam perjalanan keluar dari area kelas masing-masing.

Satu-dua dentuman terdengar. Tak seberapa keras, hanya cukup untuk menggetarkan kaca jendela, tetapi itu sudah cukup untuk membuat beberapa dari mereka memekik seraya berusaha mengecilkan diri. Entah bagaimana, posisi meringkuk seperti itu memberikan ilusi rasa aman.

Apa yang terjadi?

Benarkah ada serangan oleh kaum barbar dari luar Plate? Bagaimana mereka bisa menembus masuk hingga area perkotaan di salah satu negara maju dalam Plate?

Seberapa besar ancamannya bagi para penduduk lokal?

Apakah tempat mengungsi nanti cukup aman?

Bagaimana dengan keselamatan keluarga mereka di sisi lain kota?

Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak, tidak hanya para siswa tetapi juga para guru dan staf sekolah.

"Terus jalan ... Jangan berhenti!!!" tegur seorang petugas keamanan.

Sebagai salah satu bangunan fasilitas umum milik pemerintah, sudah sewajarnya petugas keamanan publik ikut melindungi. Namun baru kali ini mereka melihat petugas berseragam berjaga di setiap lantai lengkap dengan senjata di tangan, menambah ketegangan.

Seharusnya teguran itu tidak terlalu keras, tidak juga terdengar marah, tetapi salah seorang siswi yang mendengar itu tersedak oleh tangisnya yang mendadak pecah. Anak perempuan itu ketakutan. Bukan hanya dia yang merasa begitu.

Semua yang selama belasan tahun hidup aman dan damai tidak pernah menyangka akan mengalami teror. Tangisan satu orang gadis itu segera menyebar dengan isakan sporadis di sana-sini. Tidak hanya perempuan, beberapa orang laki-laki juga terlihat mulai berkaca-kaca.

Seorang anak laki-laki dari rombongan siswa kelas 1 menggigit bibir, menahan emosi. Dia masih belia sama seperti yang lain. Usia pemuda itu baru mencapai 15 tahun, masih beberapa minggu lagi sebelum ulang tahun yang ke 16.

Sebagai salah satu orang yang harus memimpin teman-teman sekelasnya, anak laki-laki itu berusaha keras untuk tidak menambah kepanikan. Si Ketua Kelas berusaha menyembunyikan air mata yang mulai mengembang tak terbendung di pelupuk mata dengan melihat ke luar jendela area tangga, menuju ke lantai dasar.

Hanya sesaat, mungkin pandangannya juga buram karena air mata, tetapi dia melihat sosok teman sekolahnya berlari ke arah orang-orang barbar yang mulai tersudut oleh kepungan petugas keamanan publik. Ketua Kelas itu mengusap mata dengan lengan seragam musim dinginnya untuk bisa melihat dengan jelas.

"Anak yang di situ, segera jalan! Jangan sampai menghambat yang lain!!!" tegur petugas lagi.

Dia memang hanya melambatkan langkah tetapi mengingat di belakangnya cukup banyak antrean siswa lain, beberapa dari yang berada di barisan belakang mulai terhenti. Ketua Kelas itu tak punya pilihan kecuali terus melangkah.

Apabila dia tidak salah lihat yang berlari tadi adalah Dean, salah satu andalan klub atletik dari kelas sebelah. Fisiknya atletis dan lebih besar dari remaja seumuran dengan rambut pirangnya yang dicukur cepak cukup menonjol jadi bahan percakapan para anak perempuan di sekolah.

Right EyeWhere stories live. Discover now