Stranger from Faraway (1)

24 3 0
                                    


Kicau burung terdengar riuh bersahutan. Semilir udara pagi masuk melalui celah-celah teralis jendela, membawa aroma embun dan kayu. Suhu dingin khas pegunungan membuat orang ingin tetap bergelung meringkuk di dalam hangatnya bungkusan selimut tebal. Samar-samar hidungnya mencium aroma masakan.

Gemuruh dalam lambungnya terpanggil oleh aroma sedap itu. Namun sudah lama sekali sejak terakhir kali dia merasakan tidur pulas. Dia tidak rela harus meninggalkan lelapnya. Sedikit kelaparan tak mengapa.

Sedikit mengherankan juga, sejak kapan kasur ranjang di apartemen sempitnya diganti dengan kasur seempuk itu. Juga tidak seperti kasur penginapan mana pun yang pernah dia tempati selama perjalanan menuju kediaman klan asal nenek buyutnya. Bahkan penginapan terakhir yang dia tinggalkan sebelum berangkat ke pedalaman gunung hanya dilengkapi selimut tipis, dia harus mengenakan mantelnya sepanjang malam.

Seperti baru saja ditampar oleh kesadaran, mendadak pemuda itu membuka mata.

Terdengar kepak sayap para burung pagi yang berhamburan pergi, meninggalkan ranting tempat mereka bertengger dan berlompatan sampai dengan beberapa saat sebelumnya.

Dia tidak mengenali ruangan kamar tempat dia berbaring.

Tergesa-gesa pemuda itu segera bangkit—awalnya dia bermaksud segera melompat turun dari ranjang, tetapi denyutan nyeri kepalanya menghalangi. Berkat itu dia mendapatkan waktu untuk menenangkan diri dan menata kembali ingatannya.

Pemuda itu sudah berhasil mencapai pintu gerbang raksasa. Dia sudah menunjukkan plakatnya sehingga mendapat izin untuk masuk dan diminta menunggu sebelum menemui orang dalam. Sampai di situ seharusnya tidak ada masalah. Kemudian pemuda itu kembali teringat keributan yang sudah dia timbulkan hingga sesaat sebelum dia kehilangan kesadarannya.

Kepercayaan dirinya seketika runtuh. Seorang tamu tak diundang seperti dirinya sudah membuat repot banyak orang. Seandainya dalam kekacauan kemarin dia juga merusak sesuatu yang berharga, tamat sudah riwayatnya. Tidak ... Tanpa merusak apa-apa pun tidak aneh bila tuan rumah memutuskan mengusir dia pagi itu juga.

Pemuda itu menghela napas panjang, mencoba meringankan rasa berat yang berkumpul di dada. Tidak terlalu berefek. Mungkin sebaiknya dia mandi saja. Setelah seharian berjalan, walau tidak terasa karena udaranya sejuk, tubuhnya pasti menghasilkan cukup banyak keringat. Kalau diingat-ingat lagi, dia juga sempat berguling-guling di jalan berpaving saat nyaris kehilangan kendali.

Bila memang harus diusir, setidaknya dia ingin terlihat sedikit lebih patut untuk terakhir kalinya.

Dengan langkah gontai, pemuda itu meninggalkan ranjang untuk mencari tas perjalanannya yang besar. Seseorang sudah berbaik hati membawakan tas berat itu dan meletakkan di kursi yang tersedia dekat ranjangnya. Mantel perjalanannya disampirkan di sandaran kursi. Sementara sepatunya tersimpan rapi di kaki ranjang.

Dia harus berterimakasih pada orang itu sebelum diusir pergi.

Dengan peralatan mandi di satu tangan, pemuda itu siap untuk mencari orang yang bisa dia tanyakan letak kamar mandi terdekat yang bisa dipinjam. Kemudian nyalinya kembali ciut. Dia berharap tidak harus menemui kakek penjaga gerbang atau pun gadis galak yang menyentil dahinya hingga pingsan.

Pada mereka berdualah pemuda itu merasa berhutang cukup banyak. Namun bila dipikir ulang, justru bisa menjadi kesempatan bagus. Bila bertemu dia bisa segera meminta maaf sekaligus berterimakasih atas bantuan mereka.

Dengan tekad yang bulat dan semangat tinggi, dia menarik gagang pintu. Daun pintu kayu dengan pola ukir sederhana berayun membuka. Di hadapannya terpampang sebuah kamar mandi mungil.

Right EyeWhere stories live. Discover now