Keputusan

77 4 5
                                    


Malam kedua di rumah sakit sejak Alex sadarkan diri. Dia sama sekali tidak merasa mengantuk, mungkin akibat dari rasa cemas yang bertumpuk dalam benaknya. Dia resmi diijinkan untuk keluar dari rumah sakit, tetapi kabar itu tidak sedikit pun membuatnya gembira.

Berbagai pikiran gelisah terus berkecamuk, hingga dia tidak menyadari seseorang diam-diam sudah berdiri tak jauh dari ranjangnya.

"Kali ini kau tidak tidur?"

Biasanya bila Alex mendengar suara sapaan perempuan yang beberapa tahun terakhir ini mendampinginya sebagai teman dan mentor itu dia akan segera melompat untuk menyambut. Namun kali ini Alex tetap terpekur duduk di ranjang rumah sakit.

"Seharusnya kau tidak usah repot-repot menyusup masuk ke sini, Kak Lien," gumam Alex tanpa mengalihkan pandangan dari potongan berita koran yang diselipkan di buku catatannya.

"Ya ... Ya, lama tidak berjumpa. Aku juga kangen pada sikap negatifmu, Lui!" balas Lien Hwa. Tangannya dikibaskan dengan acuh seraya berjalan mendekat.

"...Gara-gara berita konyol ini, kukira?"

Lien menyambar potongan koran dari tangan Alex dan melambaikannya ke arah lampu kamar, seolah hendak mencari gambar tersembunyi yang mungkin ada di situ.

"Aku sudah katakan padanya, kau pasti bakal terlalu kepikiran kalau berita ini sampai ke tanganmu ... Tapi dia—si Bodoh itu, bersikeras, katanya: Lebih baik anak muda itu tahu sejak awal daripada kepikiran di belakang, saat kita sedang jauh darinya."

Dia yang dimaksud oleh Lien adalah Jan, rekan sekaligus senior perempuan itu di sekolah tinggi ilmu kedokteran. Seorang pemuda ramah yang seringkali harus menerima amarah Lien Hwa saat dia berusaha mengerem laju aksi perempuan muda itu.

"Intinya, dia memanjakanmu, Lui. Kalau kau putus asa selagi kami masih bisa mencapaimu, setidaknya aku bisa bantu-bantu sedikit untuk menaikkan semangatmu, kan?"

Alex tidak segera menanggapi. Lien Hwa mendengkus jengkel melihatnya.

"AYOLAH, Lui ... Teror di sekolahmu tempo hari memang kejadian yang tidak menyenangkan, tapi setidaknya semua teman sekolahmu selamat, kan?" bujuk Lien Hwa, seenaknya bersandar di ujung ranjang Alex.

"Teman-temanku semua selamat? Theo, Dean dan Julie—mereka semua tidak terluka?!"

"...Tidak juga, sih...," gumam Lien Hwa, matanya berputar seolah mencari sesuatu yang tidak ada, makin membuat perempuan itu terlihat ragu dengan jawabannya sendiri.

"Apa maksudnya dengan itu, Kak Lien?!" protes Alex. Susah payah dia berusaha bangun dan beringsut maju dari posisi duduknya untuk meraih pundak Lien Hwa.

"Ah, akhirnya kau mau melihatku," komentar perempuan muda itu dengan senyum lebar.

"Aku juga ... Bukannya tidak mau melihatmu, Kak Lien. Hanya saja... ."

"Kau merasa malu pada dirimu sendiri karena gagal menyelesaikan masalah teror kemarin?"

"A-a-aku bahkan membuat teman-temanku terlibat! Kalau mereka berbuat lebih nekad lagi ... Kalau mereka sampai terluka parah ... Kalau mereka kehilangan nyaw-"

Alex tidak bisa meneruskan kalimatnya karena jari telunjuk Lien Hwa teracung di depan hidungnya. Jari lentik yang entah bagaimana mengandung aura mengancam.

"Jangan tinggi hati, Bocah!" tegas Lien Hwa pedas. "Kau itu baru ABG kemarin sore yang belum lama hidup. Baru 15 tahun! Kau bahkan lebih muda dari semua temanmu di klub. Memangnya bocah yang waktu hidupnya terlambat hampir satu dekade dariku bisa apa?"

Right EyeNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ