Forbidden Room

26 2 0
                                    


Mengembalikan bola karet yang ada di tangan pada anak-anak tadi. Apakah betul hanya itu motivasinya? Bukankah dibandingkan dengan motivasi lemah cenderung hipokrit semacam itu, sesungguhnya dia lebih penasaran akan sensasi aneh yang dirasakan di mata kanannya?

Bukankah rasa hausnya akan informasi itu juga yang membawanya ribuan kilometer menyeberangi samudera, menembus batas Negara ... Bahkan meninggalkan identitas lamanya?

Rasa haus yang membuat dia rela untuk menukar dengan nyawa.


***


Pemuda itu berjalan melintasi taman. Batu-batu pijakan pipih yang disediakan untuk mencegah rerumputan rapih di sekitar situ terinjak, dapat dia langkahi 2-3 pijakan sekaligus dengan kaki jenjangnya. Dalam sekejap saja dia sudah bisa menyusul langkah-langkah pendek anak-anak pemilik bola warna-warni yang ada di tangannya.

"Tunggu!" panggilnya. "Tolong tunggu sebentar, saya hanya ingin mengembalikan bola ini!"

Namun anak-anak itu malah terlihat semakin panik dan mempercepat langkah mereka. Tentu saja tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan langkah panjang pemuda berambut cokelat itu. Sedikit menambah kecepatan langkahnya saja sudah membuat jarak di antara anak-anak itu dengan dirinya memendek.

Apabila mengabaikan alasan sesungguhnya, kejar-kejaran di antara mereka terlihat cukup menggelikan.

"U-uwaaang ... Ming-Ming, orang asing itu hampir menyusul kitaaa...," tangis Kan-Kan.

"Ki-kita bisa tertangkap! Lalu dilaporkan ... Paman dan Bibi akan sangat marah!!!" seru yang lain.

"Berisik! Jangan nangis dulu! Kita lari ke belokan sana, kalau tersesat, dia juga akan berhenti mengejar!" ajak Ming-Ming yang berlari paling depan.

"EeeH??? Tapi ... tapi di sebelah sana bukannya ruangan terlarang?!" protes yang lain.

"Di dekat sana ada pintu rahasia yang tersambung ke area latihan, aku tahu dari ayah. Kita akan aman setelah lewat pintu itu!" bujuk Ming-Ming lagi, sembari terus mempercepat larinya.

"T-tapi bagaimana dengan bola karetnya? Kita tidak akan bisa beli yang baru kalau sampai ketahuan Kan-Kan menggunakan Ruby Vines pada bola itu, kan?"

"Ah...," Ming-Ming terdiam. Sudah cukup banyak mainan dilarang dipakai di kediaman klan karena pelanggaran-pelanggaran yang pernah dilakukan oleh anak-anak generasi sebelumnya di masa lalu. Apabila bola karet juga dilarang, mereka akan kehilangan cukup banyak permainan untuk dimainkan.

"A-aku akan pikirkan permainan lain yang tidak kalah asyiknya. Pokoknya kita kabur dulu, cepaaat!!!"

Ming-Ming dan anak-anak lain berbelok tajam menuju gang yang lebih kecil. Pemuda itu pasti sudah kehilangan jejak mereka seandainya Kan-Kan yang larinya paling lambat tidak terjatuh, tepat saat berbelok.

"Aaannng ... Ming-Ming, tunggu akuuu!!!" tangis Kan-Kan lagi seraya terseok-seok berusaha bangkit menyusul, tanpa mempedulikan lututnya yang tergores batu paving jalanan hingga berdarah.

Mungkin karena rasa sakit di lututnya, mungkin juga karena dia lelah berlari sambil menangis, langkahnya semakin lambat jauh tertinggal dari anak-anak lainnya. Hingga pemuda berambut cokelat bisa melangkah sangat dekat dengan anak itu dan mencapai bahunya.

"Kakimu tidak apa-apa?" tanya pemuda itu sembari menepuk pundak anak yang baru saja jatuh tadi.

Pemuda asing itu cukup jangkung, bahkan untuk ukuran orang dewasa. Bila dia berdiri di dekat Kan-Kan yang mungil, pandangannya jadi terlihat sangat mengancam bagi anak itu.

Right EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang