Pertemuan Pertama

39 4 2
                                    


Sore hari di distrik pertokoan. Berbeda dengan jalanan utamanya yang masih banyak dilalui oleh pejalan kaki dan kendaraan, jalan-jalan kecil dan gang buntu sangat sepi. Di sekitar situ, baru mulai ramai setelah senja nanti. Di mana para pekerja pabrik dan pegawai kantor melepas lelah sebelum pulang.

Tetapi mungkin juga alasan tidak banyaknya orang melintas adalah cuaca yang suram. Kebanyakan orang akan memilih untuk bergegas pulang. Langit mendung gelap membuat lampu jalanan dinyalakan lebih awal. Pantulannya cahaya lampu yang merona kekuningan terpantul di jalan berpaving batu yang basah.

Seharusnya musim dingin sudah lama berlalu, tetapi dinginnya udara hari itu masih terasa menggigit hingga ke sumsum. Mungkin karena panas tubuhnya terbawa rinai lembut hujan yang turun terus tanpa henti sedari pagi. Mungkin juga karena cairan merah yang meleleh dan menetes perlahan bersama air hujan mulai berkubang di dekat kakinya.

Nyeri yang teramat sangat terasa berdenyut menusuk tulang. Dia tersenyum getir pada lelucon yang timbul dalam kepalanya sendiri, lengan kirinya memang tidak bisa digerakkan karena sebilah pisau lempar menembus daging—sepertinya otot brachialis di lengan bawahnya. Di berharap semoga tidak benar-benar mengenai tulang atau lebih parah, mengenai syaraf.

Dia mendapatkan luka itu ketika tanpa sengaja menggunakan lengan kirinya untuk mencegah bilah pisau lempar mengenai target misinya. Mendapatkan misi untuk diam-diam mengikuti dan mengumpulkan informasi dari target, berarti dia memang membutuhkan keselamatan targetnya.

Tak pernah dia sangka, misi belum lagi berjalan setengah hari dia sudah harus terlibat perkelahian tak jelas, enam lawan satu—dua, bila dihitung dengan dirinya sendiri. Yah ... Dua lawan enam, seorang menghadapi tiga mungkin masih ada kemungkinan untuk menang, seandainya lengan kirinya tidak terluka.

Dia menyesali kecerobohannya sendiri. Normalnya bila target direbut oleh orang atau kelompok yang tampak jauh lebih kuat, dia akan memilih untuk mundur. Menggagalkan misi jauh lebih baik daripada harus membahayakan diri. Terlebih lagi bila dirinya sampai tertangkap, bukan hanya nyawanya yang terancam, hidup teman-teman dan misi mereka berikutnya juga bisa ikut terseret.

"...Aku sudah tidak apa-apa," rintih suara bocah laki-laki yang sampai beberapa waktu lalu masih tertelungkup lemas. "Anda ... Lari saja. Mereka ... Hanya mengincarku," tambahnya lagi. Dari suara sepatu yang terdengar diseret, dia menebak bocah itu memaksakan diri untuk kembali berdiri—entah dengan bertopang pada pagar besi di belakang mereka atau ada penopang lain.

Tidak mungkin bocah mungil yang lebih pendek darinya bisa bertahan melawan beberapa orang dewasa. Dia sudah melihat sendiri bagaimana bocah itu—walau sempat memberikan perlawanan, mulai menjadi bulan-bulanan. Bukan karena kena serangan. Dari sekian banyak pukulan, tendangan, bahkan sabetan benda tajam yang diarahkan pada bocah itu dengan gencar, sebagian besar luput. Kekalahan bocah itu lebih disebabkan oleh kehabisan stamina.

Sebetulnya wajar saja bila bocah itu kewalahan. Usianya terlihat tidak lebih dari 12 tahun—dari postur dan wajahnya yang kekanak-kanakan. Dia seorang diri melawan sekitar setengah lusin orang dewasa, justru aneh kalau dia tidak—minimal, kehabisan napas.

"Kenapa kau tidak balas menyerang, Bocah?" tanyanya sambil terus mengawasi lima orang lawan mereka yang masih bisa berdiri, mereka juga terlihat menjaga jarak. "Semua ini tidak akan terjadi kalau kau habisi lawan-lawanmu sejak awal!" tambahnya sedikit menumpahkan kekesalan.

"...Karena ... Aku perlu mengumpulkan mereka di satu tempat dulu."

Jawaban yang di luar dugaan. Dia mengira bocah itu akan menjawab dengan kalimat naïf, semacam: Tidak mau membunuh atau tidak mau melukai lawannya.

Right EyeWhere stories live. Discover now