4 Sekawan

64 7 0
                                    

"Von Sch ... -Uhh, maksudku ... Alexander?" panggil seorang remaja berkacamata  dengan seragam yang sama dengan Alex dari ambang pintu.

"Theo!"

Alex yang sampai beberapa saat sebelumnya masih berusaha mengeluarkan sebuah tas olahraga dari loker seketika terlihat senang melihat salah seorang temannya datang. Itu berarti dia akan mendapatkan bantuan.

"Kebetulan, bisa tolong bantu aku mengeluarkan tas Dean dari lokernya? Dia janji akan meminjamkan pemberat pergelangan miliknya, tapi terkubur di dalam loker mungkin di balik tas yang entah kenapa berat sekali ini... ."

Theo melongok ke dalam loker lalu menarik risleting tas yang sedang dipegang oleh Alex hingga mereka berdua bisa melihat isi tasnya. Setumpuk sarung tangan kulit yang sudah usang serta sepatu-sepatu yang kehilangang talinya menyembul dari dalam tas.

Daripada pertanyaan mengapa ada orang mengumpulkan rongsokan berbahan kulit di dalam tas yang lebih mengejutkan adalah aroma apek berjamur dari kulit bekas yang seketika menyebar keluar. Kedahsyatan aromanya membuat dua remaja laki-laki itu melompat menjauh seraya menutup hidung masing-masing.

Theo bergegas menutup kembali risleting tas, sementara Alex dengan sigap membuka lebar-lebar jendela ruang loker. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya aroma tak sedap yang sebelumnya memenuhi ruangan berkurang.

Theo remaja laki-laki yang selalu terlihat serius membaca saat jam istirahat. Bila disapa, jawabannya selalu singkat. Senyumnya langka, suara tawanya apalagi. Namun setelah lama kenal dengannya, ternyata dia hanya seorang anak pemalu yang tidak mampu memulai pembicaraan terlebih dahulu.

Butuh waktu hingga Theo mau menyapa seseorang dengan nama kecil. Alex kurang suka nama depannya dipanggil lengkap tetapi dibandingkan dengan saat temannya yang satu itu masih memanggil dengan nama keluarganya, panggilan Theo tadi terasa jauh lebih mending.

Kesukaan Theo terhadap membaca sangat membantu teman-temannya untuk menentukan porsi latihan dan memastikan teknik yang bisa mereka gunakan untuk gerakan atletik yang sedang mereka tekuni. Theo sendiri tidak cukup tangkas untuk mempraktekan apa yang dia baca, walau begitu dia terlihat sangat senang ketika pengetahuannya berguna.

Alex sangat mengagumi Theo yang tidak berputus asa pada ketidakmampuannya. Dengan senang hati dia akan menemani Theo di perpustakaan dan membantunya menyampaikan apa yang hendak dia utarakan pada teman-teman di klub atletik.

***

Jullie yang berambut merah dikepang dua, senyumnya sangat manis dengan bintik-bintik di wajah. Gadis itu jadi idola semua anak di klub-klub olahraga, bukan hanya karena penampilan dan kemampuan olahraganya. Sikapnya yang jujur dan ceria membuat Jullie mudah bergaul akrab baik dengan teman-teman seumur maupun para kakak kelas di klub tempat dia bergabung.

Bahwa gadis itu naksir Theo sudah menjadi rahasia umum. Theo juga kelihatan tidak keberatan menyambut perasaan Jullie kepadanya, walau dengan caranya sendiri. Hampir semua orang di sekitar mereka menyadarinya, kecuali dua orang yang bersangkutan.

Hari itu seperti biasa Jullie mendatangi perpustakaan tempat Alex dan Theo sering menghabiskan waktu setelah makan siang. Gadis itu tidak terlalu suka membaca buku yang terlalu banyak tulisan, tetapi dia akan berjuang menyelesaikan buku yang direkomendasikan Theo untuknya.

Bila ada yang tidak dia pahami dari bacaan, akan dia tanyakan pada Alex atau Theo. Seringkali Alex pura-pura tidak memahami yang ditanyakan oleh Jullie dan mengalihkan pertanyaan gadis itu pada Theo.

"Alexander, baru kemarin kita diskusi soal ini, kan? Tidak mungkin kau tidak paham!" protes Theo.

"Ah, tapi penjelasanmu lebih mudah dimengerti oleh Jullie ... Kalau aku yang jelaskan, percuma," kilah Alex sambil diam-diam mengerling pada Jullie yang sudah memerah hingga telinga.

Right EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang