2. Hukuman

17.5K 726 1
                                    

"Cell, pinjem pulpen punya lo dong, punya gue macet nih," rayu Weeby pada Marcell, teman sebangkunya. Tidak lupa dia memasang raut wajah puppy eyes agar Marcell mau menolongnya.

Dengan terpaksa, Marcell menghentikan aksi menyalin catatan dan seketika beralih menatap Weeby dengan sorot mata mematikan. "Ogah, makan tuh pulpen, sukurin!" Alih-alih meminjamkan pulpen pada Weeby, Marcell malah memaki cewek di sampingnya ini habis-habisan.

Mendengkus sebal, Weeby memutar bola matanya. Selalu saja begitu, Marcell adalah cowok yang menyebalkan. Dan Weeby tidak suka dengan sifatnya itu. Kalau saja Bu Rena, guru BK yang mengampu kelasnya tidak mengatur tempat duduk, Weeby sangat ogah-ogahan kalau sebangku dengan Marcell. Dengan terpaksa ia harus menurut.

"Tapi pulpen gue macet, lo jahat banget sih sama gue, gue kan cewek dan elo kan cowok, masa nggak mau ngalah sih?" tukas Weeby menggebu-gebu. Jengkel.

"Bodo amat, ini pulpen gue, dan gue ada berhak untuk melakukan apa aja," balas Marcell sarkastik, tidak peduli dengan Weeby yang sudah mencak-mencak ditempatnya.

"Lha terus gue gimana dong?!"

"Makanya, beli pulpen itu nggak usah di Jakarta, udah tau Jakarta sering macet, ya jadinya gitu. Pulpen lo ketularan," ucap Marcell remeh sembari terkekeh diakhir kalimat yang ia ucapkan.

"Ih Marcell, lo ngeselin banget sih, mau gue sumpal mulut lo pake kaos kaki busuk gue?" omel Weeby sembari mengentakkan kakinya kesal, giginya bergemeretak menahan amarah.

Marcell terkekeh pelan, "lagian apa susahnya sih lo ijin terus pergi ke koperasi buat beli pulpen? Itu aja repot, lo-nya aja yang banyak tingkah," hardik Marcell membuat Weeby harus mengembuskan napasnya berulang kali dengan gusar. Memang setiap hari ia harus menerima ini semua. Omelan dan tudingan selalu Weeby dapatkan dari Marcell. Weeby berusaha untuk tetap tenang.

"Nggak mau," ucap Weeby mantap. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Ya udah terserah lo aja deh, gue nggak mau ngurusin lo kalo Bu Halimah nanti ngecek tulisan satu persatu. Siap-siap aja lo kena ceramahan yang bejibun itu," jelas Marcell panjang lebar, menakut-nakuti Weeby.

"Ih ... gue pengin makan lo hidup-hidup jadinya! Jadi cowok nggak ada pengertiannya banget," maki Weeby. Berulang kali ia memukul lengan Marcell yang kokoh. Sementara Marcell merasa tidak keberatan, bagi dirinya, pukulan Weeby adalah berupa pijitan ringan untuknya. Sangat mengenakkan.

Weeby benar-benar merutuki nasibnya, kenapa dia bisa kenal dengan cowok model seperti Marcell ini? Mau sampai upin ipin udah gede pun, Marcell sepertinya tidak akan minjemin pulpen untuknya, Weeby sangat kesal setengah mati memiliki teman bangku yang pelitnya minta ampun macam Marcell ini.

Untuk beberapa detik selanjutnya, Weeby mengedarkan pandangan sekitar. Mencari sosok kedua sahabatnya. Namun, sial ya tetap sial. Netta sedang sibuk menyalin tulisan, beberapa kali Weeby memanggil namanya pun dia tetap tidak mendengar.

Kalau Kenya? Ah, Weeby tidak bisa berharap pada sahabatnya satu ini, tempat duduknya sangat jauh dari bangku yang Weeby duduki.

"Weeby, kamu kenapa?!"
a

n Weeby langsung menatap Bu Halimah, guru itu tengah menatap ke arahnya dengan muka datarnya. Weeby langsung gelagapan setengah mati. Ia sungguh gugup.

Too Late To Realize (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang