38. Ciuman (TAMAT)

4.4K 203 0
                                    

"By, gue sayang sama lo."

Entah itu menjadi kalimat ke berapa yang dapat Weeby dengar dari bibir Marcell. Rasanya telinga Weeby sangat sering mendengarnya. Walaupun begitu, tetapi ia tidak pernah bisa menolaknya. Weeby malahan tersenyum begitu lebar.

Ditatapnya cowok yang tersenyum simpul disampingnya, lalu tanpa malu Weeby menyandarkan kepalanya dipundak Marcell. Cowok itu bahkan membiarkan Weeby bersandar di sana, sesekali tangan kekar dari Marcell mengelus rambut Weeby dan mengusap pipinya yang tirus.

Perhatian kecil seperti ini seringkali Weeby dapatkan. Weeby suka dengan sikap perhatian dari Marcell.

"Gue juga sayang sama lo Marcell, nggak usah ngomong itu terus deh. Gue malu dengernya tau," ucap Weeby seraya menjawil pipi Marcell dengan gemas.

"Maaf kalo gitu."

"Maaf kenapa? Nggak salah kalo lo sayang sama gue, cukup buktikan dengan perlakukan dari lo, nggak usah ngomong itu mulu, bisa?"

Marcell mengangguk setuju, ia tersenyum bahagia. Ini lebih dari apapun. Semenjak dirinya berpacaran dengan Resti, Marcell tidak merasa sesenang ini.

"Gue juga mau minta maaf kalo gue nggak bisa romantis kayak pasangan yang lain." Marcell menunduk lesu, lalu helaan napasnya terdengar kasar dari lubang hidungnya.

"Gue nggak butuh keromantisan, yang gue butuhkan cuma lindungan dari lo, itu sudah cukup kok. Gue sayang lo melebihi apapun Cell." Dengan suara yang terdengar tulus, tangan Weeby lalu bergerak dengan gesit di pipi Marcell. Cowok itu tidak bisa menahan senyumannya, sungguh hatinya menghangat mendengar itu.

Sore ini adalah sore yang paling indah menurut mereka berdua. Semburat cahaya dari matahari sudah menjadi saksi kebersamaan mereka. Alam semesta seolah mengijinkan mereka berdua untuk bersama dan saling melengkapi satu sama lain.

"By, menurut lo, gue aneh nggak sih?" tanya Marcell beberapa saat kemudian.

Weeby seketika mengangkat kepalanya yang semula bersandar di bahu Marcell, lalu tatapannya terarah pada bola mata Marcell. Merasa masih bingung, Weeby menyerngitkan dahi. Pertanyaan Marcell sungguh ambigu dan tidak jelas.

"Aneh kenapa?" Ditatapnya wajah Marcell dengan heran. Weeby tidak bisa beralih dari sana.

"Gue dulu sering nyakitin lo, bikin lo marah dan kesel. Gue tahu kalo lo pasti sakit hati, tapi gue nggak mau berhenti lakuin itu ke lo By. Aneh aja kalo tiba-tiba lo jadi pacar gue."

Marcell segera menundukkan kepalanya, perasaan malu sudah mulai berdatangan dari luar. Tetapi, senyuman dari bibirnya tidak mau hilang.

Weeby sudah panik sendiri, namun setelah perkataan Marcell meluncur begitu saja membuat Weeby menghela napasnya lega.

"Nggak aneh kok, itu wajar-wajar aja, gue juga sama. Entah sejak kapan gue suka sama lo. Tapi walaupun lo ngeselin, tapi lo ngangenin juga kok," ucap Weeby dengan lirih, lalu ia tersipu malu akan jawaban dari dirinya sendiri.

"Sekarang gue mau janji nggak akan usil lagi," ucap Marcell terdengar begitu serius, hal itu membuat Weeby tercengang sesaat.

Tidak mungkin seorang Marcell akan berubah, ia sudah pernah mengatakan hal serupa seperti itu. Tapi apa? Nyatanya saja cowok itu masih saja usil. Tidak mau bertengkar lagi, Weeby memilih mengangguk sebanyak dua kali, ia mengiyakan saja ucapan Marcell itu.

Weeby sebenarnya tidak butuh Marcell memperjelas kalimat yang barusan dikatakan, Weeby hanya butuh kepastian dengan perilakunya. Tidak usah diungkapkan melalui lisan kalau nyatanya saja tidak berubah.

"Terserah lo aja deh, yang paling penting." Weeby menjeda kalimatnya, matanya memandangi Marcell sesaat, lalu ia membuang napas bersama dengan kepalanya yang mulai maju mendekati telinga Marcell, "sekarang lo adalah pacar gue," ucapnya lirih, tepat di daun telinga Marcell.

Setelah sukses berkata sedemikian rupa, Weeby langsung memundurkan wajahnya, senyumannya kembali terukir, kali ini lebih lebar lagi.

Tercengang sesaat, Marcell menatap Weeby dengan pandangan lurus, butterfly sindrom mulai berdatangan dan berterbangan didalam perutnya, hatinya menghangat, jantungnya berdegup melebihi batas normal manusia pada umumnya, pipinya juga turut memanas, entah kata-kata seperti apa yang pas dan pantas untuk mendeskripsikan perasaan yang sedang menyerang Marcell, cowok itu merasa menjadi satu-satunya makhluk muka bumi yang mendapatkan limpahan kegembiraan.

Setelah itu, kedua remaja itu saling pandang, Marcell menatap Weeby dengan pupil mata membesar, sementara Weeby menatap Marcell dengan mata berbinar, keduanya sama-sama menahan gejolak jantung yang berdetak mulai menggila.

Weeby lalu menyerah, ia tidak tahan lagi, detik ini juga ia memutuskan kontak mata itu, matanya beralih ke sembarang arah, ia tidak mau jika Marcell melihat semburat merah disepasang pipinya, Weeby merasa pipinya sudah memanas.

"Weeby," panggil Marcell kecil, suaranya nyaris tidak terdengar, jika pendengaran Weeby tidak tajam, sudah dipastikan suara Marcell tadi menguap dan bercampur dengan udara sekitar.

Dengan segera, Weeby menoleh malu-malu, ditatapnya Marcell dengan pandangan kikuk, Marcell nampak dua kali lihat lebih tampan dengan sepasang sudut bibir yang tertarik ke atas, Weeby terlalu takut jika terus memandangi wajah cowok itu, ia tidak ingin jantungnya copot dari tempatnya, apalagi sampai pingsan. Tidak akan!

"Iya, ada apa?" tanya Weeby, ia berdehem singkat, berusaha mengusir rasa gugup dan canggung yang tiba-tiba menyerangnya tidak kenal tempat dan waktu. Lalu, tangannya beralih mengambil sejumput anak rambutnya dan ia letakan di daun telinga.

"Lo, lihat burung itu nggak?" Marcell menunjuk ke arah langit, tetapi tatapannya tidak berpindah dari wajah cantik Weeby.

Secepat kilat Weeby memfokuskan lirikan matanya menatap langit, beberapa detik kemudian dahinya bergelombang, ekor matanya menyapu ke arah atas, ia semakin bingung sebab tidak ada apa-apa di atas sana selain gumpalan awan dan semburat langit yang mulai berubah warna menjadi kuning ke merah-merahan.

Merasa bingung, Weeby langsung menolehkan wajahnya untuk menatap Marcell, ia butuh kejelasan tentang ucapan Marcell tadi. Namun, belum sempat wajahnya menoleh dengan sempurna, Weeby terpelonjak kaget lantaran ia mendapatkan sebuah kejutan tak terduga dari Marcell.

Cup!

Dada Weeby langsung bergerak naik turun, darahnya berdesir dengan lembut, entah karena apa ia merasa jutaan kupu-kupu mulai menyebar dan menggelitik area perutnya, satu kecupan yang mendarat di pipinya sudah merubah segalanya dari diri Weeby, jantungnya tidak bisa dikendalikan lagi, terlalu menggila sampai Weeby tidak bisa mencegahnya. Dan karena terlalu malu, ia memilih menundukkan kepalanya dalam diam sembari mengembuskan napas sekuat tenaga, pasokan udara di paru-parunya kian menipis.

Di sampingnya, cowok itu malah terkekeh kecil, tangannya kemudian langsung terulur dan jatuh di dagu Weeby, dengan segera Marcell mengangkatnya hingga paparan wajah Weeby dengan bulu mata lentiknya dapat Marcell teliti dengan cermat, ia tersenyum lagi, sementara Weeby menatapnya dengan canggung, pipinya masih terasa panas.

"Gue nggak mau kehilangan lo By, untuk sekarang, detik ini juga, atau suatu saat nanti, lo janji nggak bakal ninggalin gue, kan?"

Sebagai jawaban, Weeby mengangguk lemas, ia sebetulnya tidak terlalu paham dan mendengar pertanyaan Marcell, Weeby hanya mengiyakan saja. Sedari tadi ia memikirkan soal ciuman Marcell tadi, terlalu mendadak dan Weeby tidak bisa mengenyahkannya begitu saja.

"Lo mau gue cium lagi nggak By?"

Pertanyaan itu terdengar sangat jelas, sedetik kemudian Weeby langsung menatap Marcell dengan lamat-lamat, matanya membola sedangkan mulutnya sedikit terbuka. Weeby ingin sekali menjawab, tetapi entah kenapa lidahnya terlalu kaku dan kelu, kata-kata yang tertancap diujung lidahnya tidak bisa dikeluarkan.

"Kalo lo nggak jawab, berarti jawabannya iya."

Dua detik setelah kalimat itu meluncur dengan bebas, Marcell langsung mendekatkan wajahnya ke arah Weeby dengan jarak yang tercipta tersisa kurang dari lima senti, Weeby yang terkejut langsung menutup matanya secapat kilat. Dan detik berikutnya ia merasakan sentuhan tipis dibibirnya. Weeby tidak berani membuka matanya, masih terlalu takut.

Marcell turut memejamkan matanya, bibirnya tampak lihat menciptakan gerakan naik turun, Weeby ikut larut dalam permainan ini, menyeimbangi gerakan halus yang Marcell buat, keduanya sama-sama saling mencintai, terlalu takut jika kehilangan satu diantara yang lainnya.

THE END

Too Late To Realize (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang