Go Wild For A While.

24.1K 2.9K 63
                                    

"It's in the eyes. Always the eyes." – Anonymous.

***


Suara getaran di atas meja membuat Arun tersadar dari tidurnya. Dengan mata sepat menahan kantuk gadis itu menerima panggilan, lalu beranjak turun dari ranjang, karena Indi masih tertidur pulas di atas kasurnya sendiri. Arun tak ingin mengganggu istirahat gadis itu, jadi dilangkahkannya kaki menuju ruang makan, sambil membalas sapaan dari seberang telepon, "Ya Bu?"

          "Baru bangun?"

          "Iya," Arun berdeham karena suaranya serak, "Ibu sehat?"

          Helaan napas di seberang sana, "Ibu sehat, tapi mungkin kamu nggak akan terlalu suka dengan kabar yang akan Ibu sampaikan."

          Kepala Arun langsung pening karena kalimat ibunya. Sedikit banyak ia bisa menduga berita apa yang akan didengarnya.

          "Gimana kalau untuk sementara waktu ini kamu cuti kuliah dulu?" permintaan itu persis seperti dugaan Arun, "Ayah membutuhkan banyak dana untuk perobatannya, Aruna. Ibu harap kamu bisa mengerti."

          "Bu," Arun menghela napas supaya suaranya tetap terdengar tenang, "Selama ini juga aku nggak pernah minta uang kan?"

          "Kamu memang nggak minta uang saku ataupun bulanan, tapi Ibu tetap harus membayar uang semester dan uang kos. Benar kan?" ibunya menyahuti dengan suara yang dipaksa tetap tegar, "Ibu sudah ndak sanggup lagi, nak."

          "Tapi aku nggak bisa berhenti kuliah sekarang, Bu," tegas Arun, "Ini tahun terakhirku. Setelah tahun ini selesai, aku akan wisuda, lalu mencari pekerjaan untuk meringankan beban Ibu."

          "Berapa lama lagi?" tanya ibunya dengan suara gemetar, "Memang benar, kamu udah tingkat empat sekarang. Tapi kamu juga paham kan, hanya karena kamu berada di tahun keempat kuliah, bukan berarti kamu akan segera wisuda. Perjalanan kamu masih panjang dan membutuhkan banyak biaya. Ibu nggak sanggup lagi. Tolonglah, nak, tolong mengerti keadaan Ibu."

          "Jadi menurut Ibu selama ini aku masih kurang mengerti?" suara Arun mulai pecah karena kesedihan, "Teman-temanku mendapat uang saku dari orangtua mereka, sementara aku harus bekerja sambilan di banyak tempat hanya demi mengumpulkan uang makan, dan aku nggak pernah sekalipun protes. Yang seperti itu masih dianggap kurang mengerti?"

          "Teman-temanku membawa laptop dan notebook model terbaru untuk mengerjakan tugas, sementara aku harus membersihkan ruang komputer supaya diizinkan menggunakan komputer secara gratis. Itu juga bukan bentuk pengertian?!"

          "Arun...,"

          "Memangnya apa yang bisa kulakukan kalau aku pulang sekarang?" potong Arun dengan airmata yang siap mengalir ke pipi, "Pekerjaan apa yang bisa kudapatkan?"

          "Kamu bisa membantu Ibu untuk menjaga Ayahmu."

          "Dia bukan Ayahku!" jawab Arun penuh kebencian, "Laki-laki yang menghabiskan seluruh uangnya bersama pelacur, hingga menyengsarakan keluarganya sendiri, nggak pantas untuk dianggap sebagai Ayah."

          "Aruna!!"

          Napas Arun tersengal oleh kemarahan, tapi gadis itu berhasil menahan diri untuk tidak balas membentak ibunya. Tapi sama seperti sebelum-sebelumnya, wanita yang dibutakan oleh perasaan cinta itu sama sekali tak melihat pengorbanannya dan justru menjatuhkan ultimatum, "Terserah kalau kamu masih mau bertahan di sana, tapi Ibu nggak akan memberikan uang sepeser pun untuk kamu. Ibu sudah nggak punya apa-apa untuk diberikan pada kamu."

JEDA - Slow UpdateWhere stories live. Discover now